Mohon tunggu...
Alan Budiman
Alan Budiman Mohon Tunggu... profesional -

Pemilik akun ini pindah dan merintis web baru seword.com Semua tulisan terbaru nanti akan diposting di sana. Tidak akan ada postingan baru di akun ini setelah 18 November 2015.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kyai Idris Djauhari, Sosok Kyai Langka

29 Januari 2015   01:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:11 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="angkatan 18 Putri di depan masjid jami Al-amien putra. di grup alumni BRIBOZ adanya cuma gambar ini. Kalau putra angkatan 32. alumni tahun 2007"][/caption]

Bagi saya, seorang yang layak disebut kyai adalah dia yang berhasil lepas dari kepentingan politik, eksistensi dan ragam penghargaan atau gelar. Kali ini saya akan bercerita sedikit tentang kyai yang bagi saya belum tergantikan oleh orang-orang yang pernah saya temui sampai saat ini.

Pada tahun 2001 saya lulus sekolah dasar dan masuk ke pesantren. Inilah awal cerita perkenalan saya dengan kyai yang menurut saya nyaris sempurna. Beliau adalah kyai Idris Djauhari.

Membaur di tengah-tengah santri

Awalnya, saya pikir seorang kyai hanya akan berada di mimbar atau menjadi imam masjid. Namun anggapan tersebut berubah seketika sejak saya mengenal beliau. Saat masih berada di kelas tsanawiyah, memang tidak sekalipun kyai Idris Djauhari mengajar saya secara formal. Semua guru di kelas-kelas tsanawiyah masih ustad-ustad muda yang sama sekali tidak digaji (sampai saat ini masih berlaku).

Keterkejutan saya dimulai ketika beliau tampil bersama majlis kyai dan ustad senior dalam satu tim sepak bola menantang juara liga santri (antar kelas). Di pesantren kami, Al-amien Prenduan, pemain sepak bola adalah 22 orang terpilih yang mewakili ratusan orang lainya. Saat mereka tampil, semua teman sekelas dipastikan turun ke lapangan menjadi sporter. Jadi bisa dibayangkan ketika yang tampil adalah pimpinan pesantren. Semua santri, ustad dan bahkan warga kampung sekitar datang ke lapangan yang ukuranya sudah sesuai standar nasional (hanya rumputnya saja yang ga standar).

Saat itu saya masih beberapa bulan berada di pesantren. Awalnya saya pikir itu hanya kebetulan saja, namun ternyata kyai tampil setiap tahun. Lucunya, setiap press con (gayanya haha) sebelum pertandingan beliau menyatakan bahwa di lapangan ga ada kyai atau ustad, body charge dan semua intrik yang ada dalam sepak bola harus terjadi. Jadi jangan mentang-mentang beliau kyai terus santri membiarkan beliau nyetak gol.  Saya lupa persisnya seperti apa, tapi kira-kira seperti itu point yang disampaikan. Dalam kenyataanya, beliau dan ustad-ustad senior memang sempat terjatuh, berduel serius dengan santri dan sebagainya. Pertandingan berlangsung serius. Tim kyai dan ustad-ustad senior memang lebih sering kalah, meski begitu kyai Idris beberapa kali sempat mencetak gol dengan segala triknya.

Di masjid, beliau tidak selalu menjadi imam atau berada di barisan terdepan. Dengan jumlah santri putra yang jumlahnya lebih dari seribu itu beliau sering berada di tengah-tengah santri. Pernah sekali tanpa sengaja saya berdiri tepat di sebelah beliau, lalu setelah shalat  saya dicubit gara-gara ngantuk saat subuh, setelah itu beliau suruh berwudlu lagi. Haha.

Di dapur, menurut pernyataan beberapa teman santri yang berjaga di rumah kyai, apa yang beliau makan sehari-harinya adalah sama persis dengan menu dapur santri yang beliau miliki. Jadi kalau di dapur beliau pada hari tertentu adalah tahu dan tempe, saat itu kyai juga memakan menu tersebut. Dapur santri dikelola oleh ustad-ustad berkeluarga yang setiap dapur hanya memuat sekitar 50 santri. Kecuali dapur umum yang dikelola pesantren, anggotanya saya pikir bisa mencapai lebih dari 400 orang.

Saat menuliskan ini, saya merasa subuh seolah adalah momen paling berharga. Setiap subuh kyai Idris Djauhari berkeliling dengan motor tanpa modifikasi yang memiliki suara sangat khas, bergerak pelan menghampiri seluruh asrama santri dengan luas wilayah yang sepertinya lebih dari 10 hektar. Saat itu ada 8 asrama yang tersebar di sudut pesantren, di tengahnya adalah masjid megah yang mampu menampung ribuan orang. Saat ini sudah 10, dengan tambahan 2 asrama tingkat dua, lebih megah lengkap dengan taman yang ditujukan untuk setiap santri baru. Hanya beberapa kali saja kyai absen keliling, bisa karena ada acara di luar pesantren atau beliau kelelahan karena baru datang dari luar. Untuk mengetahuinya mudah saja, jika beliau tidak ada di masjid, berarti beliau sedang berada di luar pesantren. Jika ada di masjid tapi tidak keliling, berarti beliau baru saja datang dari luar.

[caption id="" align="aligncenter" width="420" caption="Kyai Idris Djauhari saat acara apel tahunan (setiap 17 Agustus) dalam acara ini akan ada pembacaan santri berprestasi dan tampil ke depan untuk menyerahkan piala kepada pesantren."][/caption]

Bersikap Sebagai Ayah

Ayah saya adalah alumni ke 2 pesantren Al-amien. Saya lihat ayah dan kyai seperti seorang anak dan orang tua. Ketika ada masalah, ayah sering datang pada beliau dan bercerita. Bahkan saat saya kuliah ke Malaysia, saat itu saya wajib pamit dengan kyai. Setiap saya pulang kampung, juga wajib datang ke rumah beliau bersama ayah. Begitu juga ketika hendak kembali ke Malaysia setelah liburan usai, saya lebih dulu datang ke pesantren untuk izin kembali.

Beberapa kali saya menjadi perwakilan pesantren dalam beberapa ajang lomba: kaligrafi, tenis meja dan mading. Tingkat kabupaten hingga provinsi. Setiap hendak berangkat ke suatu kota, semua kontingen akan dilepas langsung oleh beliau setelah berdoa bersama. Saat saya dan teman-teman mengalami kekalahan, beliau adalah orang pertama yang memberi kami motivasi. Beliau tetap menyambut kedatangan kami dengan ucapan terima kasih tak terhingga. Namun saat kami menang, beliau seperti anak kecil yang mendapat mainan baru. Seolah semua orang harus tau. Salah satu event paling bergengsi yang saya ikuti adalah mading Deteksi 2K6 Jawa Pos. Saat itu tim putra mengirim 3 kategori mading dan mendapat 2 penghargaan. Seingat saya, ada 3 kali curhat jumatan beliau membahas tim kami yang berhasil mendapat dua kategori penghargaan. Mungkin beliau juga membahas hal serupa saat menghadiri acara di pesantren putri.

Curhat Jumatan

Di pesantren ini, hari jumat adalah hari libur. Pada setiap jumat pagi setelah subuh, kyai akan duduk di depan dan mendengar segala keluhan santri. Membaca surat di kotak suara jika santri tersebut tidak percaya diri untuk tampil langsung. Meskipun dalam surat tersebut sering hanya disebutkan kelasnya, tanpa nama, beliau tetap menanggapi dan menghargainya. Karena menurut beliau, mungkin si santri ini malu, tapi ingin suaranya didengar.

Bahasan setiap jumat bisa Beragam. Mulai dari usulan agar menu makan diperbaiki (padahal bayarnya murah), kamar mandi ga ada lampunya, sampai hal-hal lucu seperti mencintai lawan jenis. Haha. Jawaban-jawaban beliau selalu serius, meski kadang dalam keseriusanya berhasil membuat santri tertawa.

Memeluk Calon Wisudawan

Ini adalah momen paling sweet yang pernah kami alami. Entah apakah hal ini terjadi pada semua alumni, atau kebetulan saja hal ini terjadi pada kami yang disebut angkatan paling banyak masalah. Iyalah, lebih dari 50 santri diusir pada saat kami duduk di kelas akhir.

Pukul 01:00 dinihari kami bangun dan berada di masjid. Dengan lampu masjid yang hidup di tempat kami berkumpul, beliau memberi banyak nasehat. Jujur saja ada banyak dan saya berhasil lupa semuanya kecuali nasehat agar mau mengunjungi pesantren, kapanpun kami sempat.

Saya dan teman-teman sekelas yang jumlahnya sekitar 200an, dipeluk satu persatu karena esok harinya kami akan disebar ke berbagai kota berbeda dari Sabang sampai Merauke untuk mengikuti program mengajar bagi negeri. Program ini adalah syarat wajib santri untuk mendapatkan ijazah.

Bagi saya, pelukan dan cipika-cipiki tersebut adalah pertama dan terakhir kalinya. Beliau memeluk seperti saat ibu saya hendak melepas anaknya untuk pertama kali ke Malaysia. Begitu erat dan menepuk pundak kami. Beliau berdiri sampai semua calon wisudawan dipeluknya. Jelas saja ada air mata. Terutama bagi santri-santri nakal yang merasa banyak melanggar aturan pesantren seperti kabur, merokok atau tidak shalat jamaah. Santri-santri yang sebelumnya nampak angkuh, arogan, nakal, harus terisak seperti anak bayi yang merasakan sakit luar biasa.

Sudah terlalu panjang ya? Hehe mungkin saya akan tuliskan pada artikel selanjutnya, masih ada beberapa hal yang belum saya tuliskan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun