"Saya pribadi agak kurang sreg dipanggil Pak, enaknya dipanggil Mas. Kalau sungkan manggil Mas Anis, boleh manggil saya Mas Menteri. Bebas. Manggil Pak juga boleh, tapi Anda menginflasikan umur saya. Kalau ingin buat saya bahagia panggil saya Mas." ujar Anis, yang langsung mendapat tepuk tangan dari pegawainya. Menarik sekali melihat kata "menginflasikan umur" yang disebut Mas Anis (hehe iya deh Mas). Saya setuju dan sangat sepakat dengan semua kalimat beliau, kecuali "Mas Menteri". Kalau begitu nantinya bisa ada panggilan Mas Guru, Mas Dosen dan sebagainya. Ga salah sih, hanya saja terdengar baru dan....aih coba baca lagi "Mas Guru" bukankah terdengar terlalu manis? Namun saya ga mau membahas panjang kali lebar soal layak tidak layaknya panggilan Mas Menteri. Di tulisan ini saya akan sedikit berbagi dengan cerita pribadi yang saya alami selama bergabung di Kompasiana. Sejak bergabung di Kompasiana 2011 lalu, saya sudah menggunakan nama Alan Budiman. Sengaja saya pilih nama pena agar teman-teman tidak tau (haha). Dengan profil picture kartun dan tanpa identitas link sosial media lainya, maka tidak akan ada yang tau saya menulis di sini. Sejak awal saya menyadari dan faham, bahwa nantinya akan ada banyak panggilan. Dan mengikut seperti yang dikatakan Natasha "aku ga papa dipanggil Mbak, Dek, Kakak, Sayang, Beib, dan sebagainya. Asal jangan dipanggil mantan. Itu kedengeranya ga enak". Maka sayapun ga masalah dipanggil Pak, Mas, Om, Kak dan sebagainya. Awalnya saya ga peduli, karena sejak 2007 pun saya sudah dipanggil Pak oleh santri-santri SMP/SMA (sempat mengajar di 2 sekolah). Saya juga ga masalah sekalipun yang manggil Pak itu umurnya lebih tua, yang manggil Om ke saya itu umurnya sebaya dan sebagainya. Bagaimanapun saya sudah terbiasa 'acuh' dengan pilihan kata panggilan. Karena bagi saya, sama saja. Namun membaca kalimat yang disampaikan Mas Anis Baswedan, saya jadi terngiang dengan kata "menginflasikan umur". Saya mengingat banyak komentar yang sepertinya semua panggilan pernah orang katakan (kecuali panggilan mantan). Berikut ini contoh komentar dengan panggilan berbeda [caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="SS Kompasiana"][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="SS Kompasiana"][/caption] Sudut Pandang Orang Lain Saat ada komentar masuk dengan panggilan Pak, saya pastikan mereka ga kenal saya (offline) dan mungkin ga sempat melihat profil picture K yang masih unyu-unyu itu. Saya juga berprasangka baik bahwa mungkin saja tulisan yang dikomentarinya nampak berat, sehingga terkesan cocok-cocok saja untuk menggunakan panggilan Pak. Dan saya mengenyampingkan prasangka buruk bahwa komentator yang baik ini sering merasa lebih muda dari orang lain. Kadang saya merenung sejenak, sebegitu bapak-bapaknya kah tulisan saya? Iya kata teman-teman. Tulisan saya sudah jauh dari curhat-curhat remaja dan kisah-kisah cinta. Belakangan memang lebih suka nimbrung dinamika politik ketimbang membahas curhatan para 'pasien' gagal move on. Namun saya tidak mau merasakan negatif, saya memilih untuk tersenyum bahagia dengan diplomasi jalan tengah "yang kelihatan tua itu tulisanya, wajah dan umur saya tetap muda. Haha." Saya Ga Menginflasikan Umur Orang Pada banyak kesempatan, saya lebih suka menggunakan panggilan Mbak atau Bang terhadap teman-teman kompasianer yang saya tau umurnya terpaut jauh. Bukan apa-apa, psikologi dasar manusia memang selalu ingin dianggap muda. Itulah kenapa kalimat ajaib "waah....ga keliatan umur 40 deh. Awet muda banget" mampu membuat orang senyam-senyum labil. Ga peduli sekalipun kalimat tersebut hanya basa-basi gombal. Tapi saya bukan tipe yang mau memanfaatkan celah 'kelemahan' hanya untuk tujuan membuat orang lain bahagia. Ga sama sekali. Saya memilih untuk menggunakan panggilan Mbak dan Bang sekalipun beliau-beliau pantas dipanggil Pak dan Bu dikarenakan sebuah pengalaman unik berikut ini. Saya pernah memanggil seorang anak pemilik rumah makan dengan panggilan Mbak. Entah umurnya berapa, namun saya rasa sah-sah saja karena panggilan Mbak dan Mas cukup umum. Namun kemudian si Mbak ini melengos sambil mengucapkan "Embaak??!!...." terus berlalu ga mau menanggapi saya. Haha. Dari sinilah kemudian saya cukup berhati-hati, apalagi dengan makhluk sensitif bernama perempuan. Sepantas apapaun dirinya dipanggil tante oleh anak kecil, tetap saja maunya dipanggil Kak atau Mbak. (Coba tanya perempuan di sekitarmu, haha) Daripada berpotensi membuat orang lain tersinggung, lebih baik menggunakan panggilan yang berkemungkinan membuat mereka bahagia. Nah ini alasanya. Menerima Apapun Panggilanya. Tapi... Di Kompasiana kita berdiri sejajar. Ga peduli terpaut usia yang sangat banyak, sama saja. Mari berhahahihi dan kelahi opini. Daripada ribet dengan perasaan ga nyaman karena dianggap pantas dipanggil Pak, saya memilih menerima apapun panggilanya melalui persepsi positif. Meski tetap saja satu komentar seperti Mas Anis, saya tentu lebih bahagia kalau dipanggil Mas. Haha. Buat teman-teman yang sedang membaca tulisan ini, mungkin setelah ini kita bisa mulai 'membahagiakan' orang lain dengan kata sederhana dan mudah. Bahkan Anis Baswedan pun lebih suka dipanggil Mas, sekalipun pantas-pantas saja kalau dipanggil Pak. Tapi seperti yang beliau katakan "Manggil Pak juga boleh, tapi Anda menginflasikan umur saya. Kalau ingin buat saya bahagia panggil saya Mas." Ini satu-satunya inflasi yang bisa kita kendalikan dengan mudah, jadi mari tekan pada titik ideal. Semoga bermanfaat Mas dan Mbak, (praktek).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H