Saat ini waktu menunjukkan pukul 20.19 WIB tepat dipojok bawah sisi kanan layar monitor 21 inch yang aku tatap untuk sekedar melihat-lihat folder hasil tulisan yang sering kali aku kirim ke media online.
Berdasarkan catatan yang aku buat dan hasil dari kabar yang seringkali aku terima di email yang selalu aku buka setiap hari, ada beberapa artikel yang memang ditolak dibeberapa media online karena tak sesuai dengan standar mereka. Namun juga ada daftar artikel yang juga mendapat kabar baik, layak publish.
Bukan hanya itu saja, sepanjang waktu terus berubah di pojok kanan bawah layar monitor, aku terus saja menggulirkan mouse ke atas bawah, klik kanan klik kiri hanya untuk memastikan bahwa sebuah folder yang berisi cerita pendek yang aku kirim ke media online secara bergatian tercatat dengan rapi dalam satu list Microsoft excel.
Cerpen pertama, kedua, ketiga bahkan sampai kesekian, tak satupun dalam catatan yang aku buat lolos kurasi dan publish. Tak satu pun media yang memiliki nama besar dengan standar penulisan yang berkualitas, menerima hasil dari cerpen yang aku buat.
"Owh Tuhan. Apa yang salah dengan tulisanku? Mengapa sekian banyak cerpen yang aku buat tak satupun lolos di media online yang telah memiliki nama besar?" seruku pada Tuhan saat harapanku mulai semakin memudar untuk terus menghasilkan tulisan-tulisan yang menginspirasi banyak orang.
Lelah hanya melihat daftar tolak dari cerpen yang aku buat, aku mengalihkan perhatianku dengan membaca cerpen di salah satu media online ternama.
Tak lama aku membacanya, dan tak membuatku takjub akan ceritanya. Aku justru menganggap cerpen yang aku baca tak seharusnya lolos kurasi dan publish dengan syarat berlangganan jika mau membacanya hingga selesai.
Aku menilai, cerpen yang aku baca ini sangat sederhana dari ceritanya. Unsur drama tiga babaknya begitu kental. Babak awal mengenalkan tokoh, babak kedua memunculkan konflik dan babak ketiga adalah akhir dari cerita yang sangat mudah sekali ditebak.
Aku sempat meremehkan cerpen yang aku baca ini, karena memang menurut apa yang aku ketahui, cerpen itu harus memiliki cerita layaknya film korea, antara babak pertama, kedua dan ketiga semuanya bercampur aduk menjadi satu kesatuan yang seringkali kali bertukar tempat.
Kisah dibabak kedua berada di awal cerita, kemudian menuju babak pertama, lalu kembali ke babak kedua dan berlanjut ke babak ketiga. Setelahnya selalu bercampur aduk begitu saja membangun sebuah cerita sehingga membuat para penontonnya sulit menebak arah cerita yang diikutinya.
Tidak hanya berhenti pada hal itu saja. Aku bahkan tak percaya. Sebuah cerpen dengan alur cerita drama tiga babak, justru publish dengan pilihan kosakatanya yang begitu sederhana.