"Tetangga yang kamu kenal saat ini, bukan lagi tetangga yang dulu. Tetangga yang berjuang sama Abah dan ibumu. Kan sudah Abah bilang. Kalau waktu kejadian itu, kamu masih kecil sekali, belum mengerti apa-apa. Hanya bisa memanggil Abah saja."
"Lalu ke mana mereka?"
"Mereka sekarang jadi pejabat negara yang akan menggusur tanah di sana."
Aku tercengang mendengar kalimat terakhir yang Abah lontarkan. Aku tak mengira, bahwa tetangga seperjuangan yang bersama-sama menuntut keadilan atas harga tanah dan rumah yang akan dijadikan jalan, menjadi orang yang sama saja dengan mereka, pendahulunya, yang diamanahi menjalankan negara seadil-adilnya.
Harta dan kuasa membuat mereka lupa siapa mereka sebenarnya. Mereka hanya tahu, demi Negara dan Bangsa, demi mengejar ketertinggalan, mereka melakukan tindakan yang sama, seperti penguasa sebelumnya. Atau mungkin mereka melakukannya hanya karena mereka mengejar ongkos politik saat sedang mencalonkan.
"Tuhan, tolong kirim pemimpin pada bangsa ini, bukan penguasa yang tak tahu  untuk bertindak bijaksana." doaku di sepertiga malam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H