"Pada waktu itu, kamu masih kecil sekali. Abah dan ibumu bukan tidak mau memberikan tanah rumah itu untuk negara. Tapi Abah dan ibu berniat untuk membantu sesama. Bayangkan saja, rumah-rumah tetangga kita akan di gusur, tapi dengan uang ganti rugi yang tak sepadan. Kemana mereka akan pergi dan tinggal? Sedangkan harga tanah dan rumah memiliki harga 5 kali lipat dari uang ganti rugi yang akan diberikan oleh negara"
"Terus?"
"Jadi, Abah dan ibu itu berniat membantu mereka semua. Seandainya ayah dan ibu memberikan tanah itu dengan cuma-cuma, sudah pasti rumah-rumah di sebelah rumah kita, rumah tetangga-tetangga kita bakal digusur tanpa adanya ganti rugi. Kasian mereka kan! Seru Abah.
"Tapi kan, ibu yang jadi korban."
"Ibumu itu pejuang loh cantik. Pengorbanan ibumu itu, bukan semata-mata untuk rumah kita dulu. Bukan karena hanya memperjuangkan apa yang menjadi hak milik. Tapi ibumu juga memikirkan orang-orang di sekitarnya."
"Ibumu meninggal, dengan penuh kebanggaan. Karena sejak saat itu, proyek pelebaran jalan dihentikan, ya meskipun sementara."
"Tapi kenapa sekarang malah diberikan secara cuma-cuma?"
"Abah menyerah untuk meminta keadilan pada negeri ini. Karena negeri ini hanya adil bagi mereka yang berdasi, memiliki kolega dengan jabatan tinggi dan para petinggi negeri."
"Iya. Tapi harusnya Abah meminta ganti rugi?"
"Ibumu pernah berpesan. Kalau Abah ingin menyerah, serahkan saja tanah ini pada negara. Dengan diniati sedekah, insyaallah tanah yang diberikan pada negara akan dibalas pahala oleh Tuhan yang maha kuasa."
"Bagaimana dengan tetangga-tetangga kita Abah. Rumah mereka akhirnya juga di gusur. Apa Abah tidak mau berjuang untuk mereka?"