Pembangunan infrastruktur terjadi dimana-mana tanpa ada kompromi di dalamnya. Semuanya dikebut seakan bangsa ini berada dalam kondisi darurat pembangunan, meskipun sebagian infrastruktur yang dibangun terabaikan, tak dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar.
Hutan lindung yang seharusnya dijaga kelestariannya, dibuka begitu saja. Pohon-pohon tua ditebang tanpa memikirkan apa yang akan terjadi di masa depan.
Teriakan-teriakan sekumpulan orang yang merasa mendapatkan perlakuan tidak adil oleh negara karena tanah adatnya dirampas investor, rumah-rumah yang digusur demi pelebaran jalan, tak pernah didengar oleh orang-orang yang diamanahi menjalankan negeri ini seadil-adilnya.
Begitu juga dengan rumah yang aku tempati, menjadi bagian dari yang akan digusur tanpa penggantian uang yang jelas oleh pihak pengembang jalan. Bahkan semua itu memunculkan banyak pemikiran bahwa pembangunan dikerjakan dengan cepat dengan menggadaikan keadilan, memutus aturan dan dilakukan sewenang-wenang, bertujuan untuk mengembalikan modal, ongkos besar perjalanan politik selama dua periode sebelumnya.
Suatu ketika, setelah puluhan kali bernegosiasi untuk bisa mendapatkan uang ganti rugi rumah kami yang akan digusur, tetap saja tak pernah menemui titik temu. Hingga pada suatu hari, datanglah para polisi, tentara dan mesin besar penggaruk tanah. Mereka berusaha meratakan rumah-rumah yang dianggap mengganggu laju pembangunan.
Namun, ibu, Abah dan para tetangga berusaha mati-matian untuk melindungi tempat tinggal mereka dengan membentuk barikade, semacam pagar manusia, agar polisi, tentara dan bahkan mesin besar penggaruk tanah membatalkan apa yang akan mereka kerjakan.
Perjuangan mereka, tidak sia-sia. Polisi, tentara dan mesin besar penggaruk tanah akhirnya membatalkan niat meratakan rumah-rumah milik rakyat yang berpajak. Namun semua itu bukan karena hati nurani mereka. Tapi karena ibuku mengorbankan dirinya terlindas mesin besar penggaruk tanah, ditengah-tengah banyaknya media yang sedang meliput kejadian.
***
"Kenapa Abah memberikannya begitu saja pada negara?" Ayah menyeruput kopi yang ada di sampingnya.
"Begini cantik. Abah memberikan rumah itu pada negara sebagai bentuk cinta Abah pada negara ini."
"Tapi kenapa dulu, Abah, ibu dan tetangga lainnya mati-matian agar rumahnya tidak digusur?"