Semakin lama perjalanan, semakin ke dalam, udara di dalam mobil terasa semakin dingin, tapi tetap menyegarkan. Sinar matahari yang semula terang benderang, kali ini hanya menyapaku lewat celah-celah rimbunnya dedaunan pohon tua, seakan menyapaku, mengucapkan selamat datang. Begitu juga monyet-monyet yang bermain riang, bersuara, seakan memanggil-manggilku ingin berkenalan.
Perasaan bahagia perlahan mulai muncul ditengah-tengah kecewa karena meninggalkan tempat kelahiran yang terjamah oleh pembangunan.
"Sudah, sana kamu masuk. Carilah ruangan yang ingin kamu buat kamar, sisanya biar Abah yang bereskan." Ayah menyuruhku masuk setelah  tiba di rumah almarhum Ibu.
"Iya bah!" sahutku.
Aku kemudian memasuki sebuah ruang yang memiliki jendela besar menghadap hamparan lahan pertanian yang menghijau di bawahnya.
"Wooow, luar biasa indah pemandangannya." seruku pada diri sendiri.
"Abah, Abah, ini aku pake untuk kamarku. Boleh kan?" Rasa kecewaku pun semakin memudar, terpesona oleh keindahan alam, apalagi senja mulai menjelang dan matahari segera terbenam. Keindahan alam yang diciptakan Tuhan tak pernah aku rasakan senikmat ini, kala aku tinggal di tanah kelahiranku.
"Boleh. Lagian, itu kamar ibumu kok."
Mendengar kata-kata Abah, membuat perasaanku kembali bercampur aduk. Antara rasa bahagia dan sedih seakan saling berebut ruang di hati untuk menjadi penguasa diri.
Aku hanya bisa diam memaku di sebuah kursi teras, tepat di depan kamarku dan juga bekas kamar ibu dari sore hingga malam menjelang.
*