Ketika menunggu giliran diangkut pesawat, saya sekarang sering senyum-senyum sendiri. Tentang pengalaman baru waktu pertama kali menjejakkan kaki di Auckland awal Desember lalu. Agak memalukan tapi karena saya turis, saya sok bingung saja.
New Zealand menjaga alam sepenuh hati. Saya gelisah ketika polisi yang berjaga di pintu kedatangan bertanya tentang kondisi sepatu saya.
Polisi  :  Halo Bapak yang baik. Bagaimana dengan sepatu anda?
Saya  :  Mmmmh...  Sepatu saya?
Polisi : Iya. Sepatu Anda. Pernah dipakai ke mana saja sebelumnya?
Saya  : Apa ini pertanyaan atau sapaan?
Polisi : Haha. Saya bertanya, Pak.
Saya  : Dari Bali, Kuala Lumpur, dan Sydney.
Polisi : Anda menginjak tanah, Pak?
Saya  : (Pening)
Polisi : Aturan di negara kami, semua yang masuk ke NZ harus dipastikan steril dari kemungkinan membawa sesuatu yang dapat tumbuh atau mengganggu kelestarian alam NZ. Sepatu bisa membawa bibit tanaman tanpa sadar.
Saya  : O, Ok. Saya paham.
Untunglah, selain menjaga lingkungan, mereka pun sangat menghargai manusia. Saya diperlakukan sangat sopan dan manusiawi. Polisi ini tidak berpanjang-panjang setelah mendapatkan informasi singkat yang dia inginkan. Dia membantu saya mengisi brosur tentang apa isi tas saya termasuk pertanyaan pribadi lainnya. Intinya, jika polisi kita mengerikan dan bernuansa pemalak yang kuat, polisi Australia yg berwajah datar, polisi Kiwi adalah manusia bersenjata terbaik yg pernah saya temui.
Ketika saya celingak celinguk mencari toilet, dari jauh polisi yg lain merekahkan senyum selebar mungkin, mengarahkan dan memastikan saya menemukan apa yang saya cari. Bahkan mereka bisa berperan sebagai guru TK. Ketika seorang Ibu tampak kerepotan mengurus barang-barang dan berhubungan dengan customs, polisi mengalihkan perhatian 2 anak yang rewel. Dia mengeluarkan karet gelang, dibuat aneka rupa sulap sederhana, anak-anak itu tertawa-tawa senang. Para cilik ini malah tidak menyadari jika ibunya telah selesai dan siap berangkat. Polisi mengusap kepala mereka dan memberikan karet-karet itu sebagai hadiah perpisahan.
Kita, yang mengaku ramah dan lumbung utama senyum dunia, sekarang sedang saya cari-cari. Yang ada adalah wajah tergesa-gesa dan tertekan. Jika ada yang delay 2 jam dan punya waktu tersenyum cukup banyak, dia memilih menyumbat telinga dengan earphone. Atau mata bersitegang dengan layar gadget. Seperti yang di depan atau di sampingnya adalah manekin bodoh.
Kita krisis. Semua telah direbut.
Bahkan senyum kita, lebih memilih minggat, berkoloni bersama Hobbit.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI