Matahari menua burat rambut senja mengilaukan bibir telaga..
Bunga bunga tumbuh semai, rindukan riuh hujan, pekik burung dikerut dahan kering memandang awan yang barangkali akan datang..
Dibibir telaga ia berkaca, tak ada sesiapa cuma sepi yang menjalar diruang ruang hatinya yang paling rahasia
Semilir angin berisik mainkan rambutnya, membelai kusut wajah yang kusam dijarah kenang masa silam..
" Jalan hidup memang tak sehalus sutra, langitnya disamun sunyi, sedang luas malam tak pernah berbagi rahasia " katanya
Redup mata titiskan hujan genangkan rindu sesal, banjiri hingga di lekuk pipinya..
Ada risau yang meringkuk pada pucuk awang fikirnya, tentang dosa mendebu pada kelambu masa lalu..
Seusai riuh hujan gemetar tangannya menyeka air yang acap mampir mengguyur bening matanya..
Tatapnya menyayat membelah bangkai bangkai pohon dimana sayap kupu kupu terbaring..
Seusai sesal mondar mandir diceruk hatinya, punggungnya berguncang guncang hebat, seperti ada luka yang teramat berat..
" Ah terlampau lama aku menggauli hitam, dalam kisah kisruhku barangkali itu sebab kenapa kilau lilin itu padam " katanya dengan wajah diselimuti gamang
Riak air kenangkan masa lampau tentang lentik jari yang kerap membasuh keluhnya : ibunda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H