Ilustrasi/Admin (Kompas/Hendra Agus Setyawan)
Sejarah membuktikan bahwa melalui tulisan, seseorang bisa mengubah dunia. Semoga melalui tulisan ini, saya bisa membantu Ibu saya dalam menghadapi masalah yang dihadapi oleh beliau. Kendati mungkin Presiden tidak membacanya, paling tidak, rakyat Indonesia membaca tulisan saya. Paling tidak, masih ada orang-orang yang peduli, dan mau memperjuangkan keadilan. Tidak hanya untuk Ibu saya, tetapi untuk seluruh warga negara Indonesia.
SURAT TERBUKA UNTUK PRESIDEN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Jakarta, 20 Maret 2011
Yang Terhormat Bapak Presiden,
Saya mengerti bahwa tulisan seorang pemuda kemungkinan besar tidak akan mendapat tanggapan mengingat banyaknya masalah di negeri ini yang tentunya penting untuk ditanggulangi. Namun, ingatkah Bapak akan perkataan Bung Karno, di mana ia berjanji bahwa dengan beberapa pemuda saja, ia bisa mengguncang dunia? Sumpah Pemuda, Proklamasi Kemerdekaan, dan Reformasi adalah cerita-cerita yang kami dengar ketika kami tumbuh dewasa, bahwa pemuda bisa menciptakan perubahan dan bahwa ada harapan untuk Indonesia yang lebih baik. Sejak kecil, kami diwajibkan untuk menghafal lima sila yang menjadi ideologi negeri ini, termasuk sila kelima: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Pada kenyataannya, banyak kejadian di negeri ini yang bersifat kontradiktif terhadap sila tersebut.
Saya merupakan satu dari segelintir pemuda yang dulu percaya bahwa masih ada harapan bagi bangsa ini untuk menjadi bangsa yang besar. Berbekal optimisme serta keinginan untuk menjadikan Indonesia negara yang lebih baik, pemuda Indonesia berkarya - tanpa mengharapkan imbalan apa-apa. Meskipun saya sering mendengar berita mengenai ketidakadilan yang terjadi di Indonesia, pada awalnya saya tidak percaya bahwa implementasi hukum Republik Indonesia seburuk itu. Sampai pada suatu ketika, ketidakadilan tersebut menimpa orangtua saya. Di depan mata kepala saya sendiri, saya melihat bagaimana keadilan di negara ini berpihak hanya pada orang-orang tertentu - pada orang-orang yang memiliki hal yang lebih, termasuk uang dan kekuasaan.
Ibu saya, Arga Tirta Kirana, dituduh terlibat dalam pencairan beberapa kredit di Bank Century, padahal beliau tidak memiliki kewenangan dalam proses pertimbangan, pemutusan, maupun pencairan kredit, serta tidak tergabung di dalam Komite Kredit. Hal itu baru satu dari sekian banyak kejanggalan dalam implementasi hukum yang dialami beliau. Ibu saya dijadikan kambinghitam untuk menyelamatkan individu atau bahkan golongan yang memiliki kekuasaan lebih; dan sejauh ini belum menemukan titik terang menuju keadilan kendati berbagai proses hukum telah dijalani sejak April 2009.
Apa yang terjadi pada Ibu saya bisa terjadi pada siapa saja, dan apa yang mengancam harapan dan optimisme saya pun dapat menghabisi keinginan pemuda Indonesia lainnya untuk berkarya. Selama ini, masa depan Indonesia sudah saya anggap sebagai masa depan saya juga. Saya berharap, sampai kapanpun, hal tersebut tidak akan berubah - bahwa Indonesia dan saya adalah kedua hal yang tak terpisahkan.
Selama beberapa tahun ke belakang, saya berkesempatan untuk bekerjasama dan bertemu dengan begitu banyak pemuda Indonesia yang brilian dan berbakat, yang mencetak prestasi dan membawa nama Indonesia ke kancah regional maupun internasional. Dengan mata kepala saya sendiri pula, saya bisa menyaksikan pergerakan pemuda Indonesia yang membanggakan. Bisa melihat karya mereka membuat saya percaya bahwa Indonesia sangat bisa memiliki masa depan yang cerah. Generasi yang sedikit lebih tua dari kami pun sama hebatnya, tetapi satu persatu dari mereka telah ‘gugur’ dari Indonesia. Banyak dari mereka yang mengagumi optimisme kami yang masih aktif bergerak untuk “Indonesia yang lebih baik” – di mana harapan mereka sudah mati ketika mereka mengetahui sisi lain dari Indonesia, termasuk sistem hukum yang dalam penerapannya tidak secara konsisten menjunjung tinggi keadilan.
Oleh sebab itu, saya khawatir dengan masa depan pemuda Indonesia. Apakah itu berarti, kami - pemuda Indonesia - yang tidak memiliki uang dan kekuasaan, akan memiliki nasib yang sama? Bahwa keberadaan kami juga akan tergilas oleh hukum yang berpihak pada pihak yang membayar lebih, atau punya kekuasaan lebih tinggi? Apakah itu berarti, kami yang berkarya akan terusir dari negara ini apabila kami menginginkan Indonesia yang lebih baik dari hari ini?