Tanpa sikap kritis semua tak kan pernah maju. Tanpa sikap kritis tak timbul hal baru. Kritis membawa pada revolusi. Kritis memberikan kesempatan ke arah lebih baik. Benarkah sikap kritis positive?
Ada kecenderungan manusia saat kritis. Kritis itu menular. Kritis nampak demokratis krna mengijinkan perbedaan pendapat. Namun kritis berbahaya bila nyata-nyata hanya berputar saja. Kesimpulan sederhana masalah kelas rendah diperdalam hingga tak memberi solusi. Mudah saja menjawabnya, sikap kritis yang salah merasuk membawa perubahan tak beretika. Senang mendebatkan masalah. Tak pernah setuju dengan lawan bicara. Main kata, bergulat lidah, mencari-cari kesalahan meski hanya berbutir-butir saja.
Pemikirin belum sampai, perdebatan sudah dimulai. Bagaimana mungkin kepala dibelakang pita suara?
Ada keanehan yang diajarkan turun temurun. Kritis yang salah dipraktekkan masal seakan program wajib belajar. Sekolah saja dipaksa bersuara, padahal belum sepenuhnya dapat mencerna. Kedoknya sederhana, bila tak mau bersuara takut jadi manusia apatis. Takut saja dia tak dapat bersuara selamanya. Tapi apakah esensi utamanya adalah bersuara atau berpikir?
Kurasa sulit memahami kritis benar dan salah. Tapi kadang diri ini jg sering salah. Mengkritisi sesuatu yang tak selayaknya. Tapi bagaimana menahannya? Jelas-jelas persoalan memancing untuk dikritisi? Sudah menjadi kodratnya bila diam artinya tak pintar.
Herannya.
Lalu bagaimana seharusnya. Lebih baik diam karena diam adalah emas? Atau memilih untuk kritis karena kritis membangun?
singkatnya: kritislah pada saatnya dan pada tempatnya.
salam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI