Mohon tunggu...
Alan Darmasaputra
Alan Darmasaputra Mohon Tunggu... -

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Catatan Sang Petarung (Bagian 4)

23 Oktober 2012   18:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:28 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“MULAI!”

Teriak seseorang yang bertindak untuk memimpin pertandingan ini. Tiba-tiba sebuah tendangan memutar ke belakang datang, membabat wajahku. Tendangan itu sangat cepat, dan secara refleks aku berhasil mengelak dari bahaya tersebut. Tapi, serangan itu masih berlanjut. Kaki kanannya yang tadi menyerangku kemudian kembali berayun dari samping yang otomatis membuatku segera menangkisnya cepat. Serangan pembuka tersebut sudah sangat cukup untuk membuatku terkejut.

Pukulan cross kiriku pun segera mengincar wajahnya, namun berhasil dihindari olehnya. Kupaksa ia untuk bertarung jarak dekat. Setiap tendanganku datang berusaha mengenainya, tapi selalu luput. Ia lebih gesit daripada yang kubayangkan. Setiap seranganku berhasil dihindarinya dengan lompatan, salto, maupun gerakan menghindar akrobatik lainnya. Seperti seekor monyet. Di saat itu pula, ketika aku berusaha melancarkan spinning back kick dalam jarak dekat, Da Silva segera menemukan celah. Ketika tubuhku berputar ke belakang untuk menendangnya, Da Silva langsung mendorong pinggangku dengan punggungnya hingga membuatku kehilangan keseimbangan dan jatuh.

Da Silva berhasil menjatuhkanku. Sebelum serangan berikut darinya datang, aku segera mencoba untuk berdiri, tapi satu tendangan berputar bak cakram darinya memaksaku untuk menundukkan badan sebelum akhirnya aku benar-benar bisa berdiri dengan cepat.Tanpa pikir panjang, segera kuayunkan pukulan hook kiriku yang menghantam  pipinya. Disusul dengan satu pukulan hook kanan yang tepat mengenai rahangnya dengan keras. Da Silva ternyata sangat cerdik. Sebelum seranganku yang berikutnya datang, push kick-nya segera mendorongku mundur sebelum ia berguling mundur ke belakang.

Kedua mata kami saling memperhatikan gerakan masing-masing. Kuakui aku sendiri cukup kewalahan menghadapi Da Silva. Bisa kurasakan perbedaan teknik di antara kami berdua. Teknik kami masing-masing nyaris seimbang. Kerumunan orang-orang yang menjadi penonton ini bersorak-sorai meihat pertarungan kami berdua. Sebagian besar orang yang mendukung Da Silva segera berteriak ricuh memaksaku untuk kalah, sedangkan untuk Da Silva, mereka sangat mendukungnya, menyuruhnya untuk segera menyelesaikanku secepatnya. Sebagian kecil orang yang mendukungku segera memberiku semangat untuk segera menghabisi Da Silva.

Da Silva pun mengitariku sambil melakukan ginga, kuda-kuda dalam capoeira. Tiada henti baginya untuk terus bergerak. Aku hanya berdiri dan mengitari poros di tempatku berpijak saat ini. Mengamati setiap gerakannya, sekaligus mewaspadai serangan tiba-tiba yang bakal dilancarkannya. Kami saling mengamati satu sama lain dalam jarak yang saling berjauhan.

Dalam jarak yang berjauhan, tendangan saltonya yang mengincar bagian atas kepalaku datang secara tiba-tiba. Memaksaku untuk segera mengelak ke samping. Serangan mendadaknya berhasil mengejutkanku. Tapi, serangan itu belum berhenti sampai di situ. Dia memaksaku untuk terus mengelak dengan setiap tendangan berputar dan melingkarnya. Tanpa memberiku celah untuk bergerak bebas. Kali ini Da Silva yang memaksaku bertarung jarak dekat.

Aku berusaha memanfaatkan keadaan. Saat serangan beruntunnya terhenti, segera kulayangkan setiap tinjuku menuju wajahnya, namun sayang semua itu berhasil ditangkisnya. Da Silva sungguh tidak memberiku kesempatan untuk menyerang. Dia membatasi setiap gerakan maupun serangan, dan terus mendesak pertahananku. Da Silva kemudian berputar, kakinya berayun menyapu, mencoba untuk menjegal salah satu kakiku. Namun yang ada, justru sapuan tersebut memaksa untuk bersalto demi menghindari serangannya. Tanpa pikir panjang, lutut kirinya segera menghujam hidungku begitu aku mendarat di atas tanah. Darah segar mengalir dari hidungku. Serangan lutut barusan membuatku pening sesaat. Bagaikan kawanan hiu yang belingsatan melihat darah, semuanya pun langsung bergemuruh sorak-sorai.

Keadaan yang terpaksa ini membuatku mencoba untuk mundur dari serangannya, meskipun apa yang kulakukan ini justru menambah jarak serangannya. Mengingat bahwa capoeira juga adalah teknik bertarung yang memanfaatkan jarak jauh. Dalam keadaan yang tidak menguntungkan ini, kudapatkan satu kesempatan. Aku segera melompat berputar begitu ia berusaha mendekatiku, hingga akhirnya, tendangan berputarku berhasil menghantam keras bagian depan wajahnya. Da Silva terhempas ke samping setelah menerima tendanganku barusan. Aku berhasil mengembalikan keadaan.

Aku teringat kembali akan saran Ary agar aku harus mengunci setiap gerakannya. Aku kembali mendesaknya dengan jarak yang sangat dekat. Setiap pukulan kombinasi tinjuku berhasil mendarat tepat di pipi, hidung, dada, dan perutnya. Sekarang aku yang tidak memberinya kesempatan untuk menyerang balik. Begitu ia terdorong mundur dengan jarak yang cukup jauh, kumanfaatkan momen tersebut dengan langsung menyerang maju dan melakukan tendangan angin puyuh. Namun, Da Silva tetaplah petarung yang sangat jeli. Dia berhasil mengelakkan tendanganku dan melompat di hadapanku. Dia segera melancarkan drop kick dengan kedua kakinya, yang berhasil menghantam keras dadaku hingga terhempas mundur, sebelum akhirnya ia terjatuh mendarat di ata aspal yang keras ini.

Da Silva membayangiku dengan maju sambil berputar menyamping di depanku. Melakukan gerak tipu untuk memaksaku melangkah mundur dengan cepat. Tendangan berputarnya pun datang sebagai penutup gerakan tipu ini. Begitu tendangannya berhasil kuelak, aku segera maju, melayangkan tinjuku ke arahnya. Sekali lagi, dia tetap petarung yang sangat jeli dan sangat bisa memanfaatkan keadaan. Entah pertarungan maupun strategi bertarung apa yang dilakukannya dalam setiap kerasnya pertarungan jalanan di Brazil. Dia sudah sangat cukup membuatku kewalahan. Kaki kirinya segera mengait lenganku. Menarikku paksa hingga aku terpelanting di atas aspal dengan sangat keras. Dalam posisi seperti itu, dimana aku terbaring akibat jatuh dan kaki kirinya masih mengait lengan kananku, di situlah ia secepatnya berusaha melakukan kuncian lengan, arm lock. Menyadari hal itu, aku segera menarik balik lengan kananku dengan lengan kiriku yang bebas. Tenaga kami berdua saling memaksa satu sama lain. Yang kulakukan sekarang ini adalah untuk mencegah agar lenganku tidak dipatahkan olehnya. Jika sampai lenganku patah, maka berakhirlah semuanya. Da Silva begitu gigih ingin segera menyelesaikan ini. Namun di saat itu juga, segera kuayunkan salah satu kakiku sekeras-kerasnya hingga menendang kepalanya. Membuat kuncian di lenganku terlepas sehingga aku bisa meloloskan diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun