Mohon tunggu...
Taufik Alamsyah
Taufik Alamsyah Mohon Tunggu... Guru - Buruh Kognitif
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Seorang tenaga pengajar yang hanya ingin mencurahkan pemikiran dan emosional dalam diri ke ranah tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Aktivisme dan Problematik Hari-Hari Ini

18 Januari 2024   06:43 Diperbarui: 18 Januari 2024   06:55 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Project M/Adi Marsiela 

People try to identify who is the most likely person to turn out, and what we did is that we changed who turns out. And that changes the whole electorate.

(Alexandria Ocasio-Cortez, Politikus Partai Demokrat dan Kekasih Imajiner Taufik Alamsyah)

Pada tanggal 8 Agustus 2020, akun twitter WWF (World Wild Life Fund for Nature) Indonesia, menulis cuitan "Seperti apa industri kelapa sawit yang berkelanjutan? Silakan bergabung dalam virtual talkshow untuk mengetahui apa itu sawit berkelanjutan, sehingga Sobat sebagai konsumen dapat berkontribusi dengan memilih produk yang berkelanjutan." 

Lengkap dengan poster yang menampilkan pembicara diantaranya akademisi Prof. Bambang Hero dari IPB. Tidak sampai di situ, WWF juga melanjutkan cuitannya yang berbunyi, "Kita sering dengar bahwa aktivitas perkebunan sawit berdampak bagi lingkungan, merusak hutan & habitat satwa. Dengan mengatur agar praktiknya mengikuti prinsip-prinsip berkelanjutan, sawit dapat memiliki dampak minimum terhadap lingkungan & tetap memberi manfaat bagi kita semua."

WWF adalah organisasi yang bergerak dalam konservasi lingkungan hidup untuk menjaga dan melestarikan hutan agar tercipta keseimbangan bumi dan mencegah kerusakan alam demi kehidupan yang asri berkelanjutan dan beperkepanjangan. Mencari titik pijak relasi manusia dan alam memang sangat sulit menemui titik terang. Sebab, manusia dengan segala superioritas dan kekuasaanya yang dilandasi fondasi historis kehidupan manusia pra-aksara tidak bisa dilepaskan dari alam. Artinya, segala keseluruhan civitas manusia mulai dari makan, minum, dan kebertahanan hidup selalu bergantung dengan alam. Dengan segala keterbatasan ilmu dan pengetahuan serta teknologi pada saat itu, setuju atau tidak, mengobjektifikasi alam adalah hal yang lumrah bahkan menjadi keharusan.

Tetapi, zaman telah telah berganti. Waktu terus berpacu. Homo Sapiens menciptakan alat bukan sekadar menciptakan secara kesederhanaaan, melainkan teknologi berbasis mutakhir. Penemuan-penemuan terbaru dengan gaya efisien ruang dan waktu melahirkan pergeseran-pergeseran kebudayaan manusia, juga melahirkan pelbagai problematik kehidupan manusia, dan sialnya erat kaitannya dengan lingkungan, tidak, bukan erat lagi, tetapi tidak dapat dipisahkan, bukan karena relasi harmonis dari manusia-alam, tetapi dari relasi manusia-alam dan kerusakan-kerusakan alam yang timbul dari persekongkolan ilmuwan, korporat, dan aristokrat atau kalau boleh meminjam suatu terma dari John Perkins, "Korporatokrasi".

Para korporat dengan menggunakan segala macam dalih guna melancarkan bisnis perusahaan-perusahaan (multi-nasional-internasional) salah satunya adalah ikut mengkampanyekan gerakan lingkungan penghijauan dan melestarikan alam demi kehidupan berkelanjutan anak cucu kita, yaitu menciptakan teknologi yang dihasilkan dari energi terbaru dan terbarukan agar menjalankan praktik-praktinya berjalan dengan prinsip-prinsip etika lingkungan. Tentu korporat tidak bekerja sendiri. 

Sejarah membuktikan, seperti apa yang dikatakan dalam buku Homo Sapiens dari Noah Harari, para korporat mendapat dukungan dari para ilmuwan dan akademisi untuk mengaktualisasikan pembenaran kolektif imajinasinya menyongsong tatanan dunia perekonomian yang dicita-citakannya. Ilmuwan dan akademisi dipaksa bertekuk lutut menuruti kemauan para pemodal, menerbitkan jurnal-jurnal berbasis kepalsuan ilmu dan pengetahuan supaya meyakinkan masyarakat global, bahwasanya, apa yang dilakukan oleh para korporat adalah benar adanya tidak merusak lingkungan dan dunia tetap akan baik-baik saja. Apakah kerjasama para pemodal dan ilmuwan untuk terus melanjutkan civitas industri-ekonomi meski bertabrakan dengan environmental ethic dan hukum-hukum di suatu negara akan terwujud?

Tentu tidak. Ada yang harus diajak kerjasama satu lagi. Siapa itu ? ya, sebut saja aristokrat. Aristokrat di sini yang saya maksud, bukan hanya kepala negara saja, tetapi orang-orang yang membisikkan ke telinga penguasa juga sangat berpengaruh. Tidak lain tujuanya adalah untuk meng-goal-kan rencana para korporat tersebut. Contoh WWF di atas adalah salah satunya. Bagaimana mungkin, organisasi gerakan kelestarian lingkungan hidup memberi karpet merah diskusi umum Kelapa Sawit? Betul memang, Kelapa Sawit adalah salah satu bahan kebutuhan untuk masyarakat luas, akan tetapi haruskah beri tekanan kepada publik bahwa apa yang dilakukan industri tidak merusak lingkungan? dan apakah mendirikan industri di suatu wilayah hutan tidak merusak keragaman hewani? apakah pendirian pabrik-pabrik tidak menyentuh pemukiman para petani dan masyarakat adat? Dalam logika sederhana, ekspansi kelapa sawit akan menyebabkan kerusakan hutan hujan dan lahan gambut tropis dalam skala besar, meletakkan keragaman hayati dalam resiko dan menghasilkan emisi gas rumah kaca yang substansial. aktivisme organisasipun ikut terbuai rayuan korporat, ilmuwan, dan aristokrat. Benar-benar malang.

Bukan hanya sampai di situ, maksud saya, dalam pembangunan industri tidak hanya mempersoalkan etika lingkungan belaka. Tetapi, ada ikatan berkelindan secara sosiologis. Aristokrat bukan hanya berhasil meloloskan Undang-undang yang mengabaikan lingkungan (tentu ini hasil pesanan korporat yang didukung jurnal ilmu pengetahuan para ilmuwan) juga membantu dalam urusan mencari lahan demi pembagunan industri besar-besaran. Salah satunya adalah pembebasan lahan. Dalam pembebasan lahan, yang paling rentan terkena adalah para petani dan masyarakat adat yang miskin, kurang akses politik, dan tak punya daya melawan keputusan dan kebijakan aristokrat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun