Kearifan lokal adalah warwah dari suatu konsepsi lingkungan masyarakat. Hasil dari pemikiran dan kebudayaan berdasarkan perhitungan ataupun kebiasaan secara turun-temurun. Kearifan lokal adalah sistem dari pelbagai macam sebuah tatanan politik, sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Menurut Rahyono, kearifan lokal merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu yang diperoleh melalui pengalaman masyarakat. Artinya, kearifan lokal adalah hasil dari masyarakat tertentu melalui pengalaman mereka dan belum tentu dialami oleh masyarakat yang lain. Nilai- nilai tersebut akan melekat sangat kuat pada masyarakat tertentu dan nilai itu sudah melalui perjalanan waktu yang panjang, sepanjang keberadaan masyarakat tersebut. (Ulfah Fajarini, 2014).
Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat "local wisdom" atau pengetahuan setempat "local knowledge" atau kecerdasan setempat "local genious". Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan.Â
Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Local Genius sebagai Local Wisdom, dalam disiplin antropologi dikenal istilah local genius. Local genius merupakan istilah yang mula pertama dikenalkan oleh Quaritch Wales. Para antropolog membahas secara panjang lebar pengertian local genius ini (Ayatrohaedi, 1986).
Antara lain Haryati Soebadio mengatakan bahwa local genius adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Sartini dalam Ayatrohaedi, 1986).Â
Sementara (Ayatrohaedi 1986:40-41) mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Ciri-cirinya adalah: (a) mampu bertahan terhadap budaya luar, (b) memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar, (c) mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli, (d) mempunyai kemampuan mengendalikan, dan (e) mampu memberi arah perkembangan budaya. Mengacu pada kedua pengertian tersebut cukup beralasan jika kemudian kemendikbud menyebut keduanya sebagai keunggulan lokal. (Dr. Moh. Toifur et al., 1981).
Kualitas lingkungan saat ini dapat dikatakan nyaris rusak dan hancur. Perkembangan teknologi dan kemajuan kapitalisme dalam pelbagai varian dapat menciptakan alur pengrusakan yang parah. Fungsi lingkungan alam yang terus terdegradasi sebagai akibat kerusakan yang berkepanjangan dan berlangsung secara terus-menerus berdampak buruk terhadap keberlangsungan makhluk hidup termasuk manusia.Â
Eksploitasi yang terus didengungkan oleh kapitalisme terhadap lingkungan alam mengakibatkan kesenjangan hubungan mamnusia itu sendiri dan juga daerah lingkungannya. Solusi kemutakhiran teknologi yang ditawarkan tidak mampu mengatasi masalah dan belum menyentuh permasalahan kerusakan alam. Oleh sebab itu, diperlukan upaya perlindungan dan pengelolaan lingkingan alam yang integratif, berkelanjutan, konsistensi, melalui budaya lokal oleh masyarakat. Internalisasi nilai ekologis yang terkandung dalam kearifan lokal dapat membantu lahirnya kesadaran manusia dalam pengelolaan lingkungan alam sehingga dapat membentuk sikap ekologis yang baik.
Konsep- konsep terkait pentingnya internalisasi nilai-nilai kearifan lokal yang didukung dengan bukti-bukti empiris dan hasil observasi terkait upaya pelestarian lingkungan alam. Dari kajian empiris dan hasil observasi disimpulkan bahwa internalisasi nilai-nilai kearifan lokal dapat memberikan kontribusi positif bagi pelestarian lingkungan alam, melalui perwujudan hak dan kewenangan masyarakat adat setempat. (Niman, 2016). Masyarakat petani yang mengandalkan pemenuhan kebutuhan hidupnya dari hasil pertanian, masyarakat memiliki hubungan yang erat dengan lingkungan alamnya. Hubungan tersebut terjalin dalam rangka menjaga relasi yang harmonis antara manusia dengan alam sekitarnya.
Relasi yang harmonis tersebut diwujudkan dalam upacara-upacara budaya lokal yang memiliki nilai-nilai ekologis. Nilai-nilai ekologi dalam budaya lokal tersebut terwujud dalam ritual-ritual adat. budaya ini memiliki ritual-ritual bermakna simbolik dan mengandung nilai-nilai ekologis yang merupakan bentuk penyatuan yang harmonis dan selaras dengan alam.
Hal ini senada dengan Iswandono (2015) bahwa konservasi hutan, misalnya, tidak terlepas dari budaya dan kepercayaan lokal masyarakat setempat. Dengan demikian, pelestarian lingkungan alam tidak terlepas dari budaya dan kepercayaan setempat.