Mohon tunggu...
Alamsyah Saragih
Alamsyah Saragih Mohon Tunggu... Ombudsman RI -

@Alamsyahsaragih ... when it is costless to transact, the efficient neo-classical competitive solution obtains—Ronald Coase, 1960.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sesat Pikir Politik Pencegahan KPK

31 Agustus 2015   09:01 Diperbarui: 5 September 2015   07:15 1278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Gambar diolah dari harian Terbit"][/caption]Proses seleksi calon pimpinan KPK satu langkah menuju uji kepatutan dan kelayakan oleh DPR. Di tengah kericuhan yang dipicu oleh kontroversi inisial calon pimpinan berstatus tersangka, ada satu wacana yang mengkhawatirkan: keinginan panitia seleksi untuk menggeser intensitas KPK ke arah pencegahan. Pilihan ini sangat berbahaya karena dapat mereduksi mandat Undang-Undang. KPK dibentuk bukan untuk menjalankan politik pencegahan, melainkan pemberantasan korupsi.

Kebijakan tersebut bersandar pada argumen amatir bahwa intensitas tinggi pada penindakan terbukti tak efektif dalam menciptakan efek jera dan justru menciptakan benturan antara KPK dan Kepolisian. Oleh karena itu KPK ke depan harus berfokus pada pencegahan. Jika tak berhati-hati pilihan ini akan mengulangi kesalahan dalam mempersepsi tugas KPK. Kita harus berhenti mempersempit tugas KPK dalam dua kotak, yakni penindakan dan pencegahan.

Lima Mandat Undang-Undang

Undang-Undang KPK memberikan mandat kepada pimpinan untuk menjalankan lima tugas utama dalam pemberantasan korupsi. Kelima tugas tersebut saling beririsan satu sama lain, dan tak dapat berdiri sendiri. Pencegahan hanyalah satu dari lima tugas KPK.

Pertama, mengkoordinasikan upaya pemberantasan korupsi. Pemberantasan korupsi memerlukan peran aktif semua pelaku. Untuk itu Undang-Undang telah memerintahkan KPK untuk menjalankan tugas koordinasi dalam pemberantasan korupsi, bukan hanya kepada Polri atau Kejaksaan. Tugas koordinasi tidak hanya terbatas pada kasus korupsi yang sedang ditangani.

Kedua, KPK ditugasi oleh Undang-Undang untuk melakukan supervisi terhadap proses penindakan yang dilakukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan. KPK mengambil alih manakala penanganan tak menunjukkan perkembangan atau masuk dalam wilayah konflik kepentingan. Upaya sebaliknya jelas merupakan perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu diperlukan regulasi yang mengatur standar supervisi, dan tak cukup melalui kesepakatan bersama.

Tugas ketiga adalah melakukan Penindakan. Undang-Undang telah mengatur batasan berdasarkan besaran kasus, yakni minimal satu miliar rupiah untuk kasus yang menyangkut kerugian negara. KPK memang diarahkan untuk menindak korupsi besar. Oleh karena itu membandingkan kinerja KPK dengan lembaga penegak hukum lain melalui besaran uang negara yang diselamatkan menjadi tak relevan dan kontra produktif.

Tugas keempat adalah melakukan pencegahan korupsi. Pencegahan korupsi mencakup upaya edukasi, penelitian tentang korupsi, hingga supervisi pembangunan sistem pengawasan internal dan deteksi dini. Dengan demikian mendorong pembentukan whistleblower system dan menyediakan ruang konsultasi merupakan area kerja pencegahan. KPK harus mampu berperan sebagai mentor bagi inspektorat di lembaga negara.

Tugas kelima adalah memonitor perkembangan pemberantasan korupsi. Tugas ini mencakup pemantauan terhadap kepatuhan lembaga negara, verifikasi dan publikasi laporan harta kekayaan pejabat, hingga pemantauan kinerja penanganan kasus di lembaga penegak hukum.

Kelima tugas tersebut membutuhkan kompetensi dan karakter pimpinan yang berbeda, meski saling mengisi. Itu sebabnya kepemimpinan didasarkan atas prinsip kolektif kolegial. Tugas koordinasi boleh jadi sangat tepat untuk dilaksanakan oleh pimpinan yang menjabat sebagai Ketua.

Antara Panitia Seleksi dan DPR

Panitia Sleksi memiliki peran dalam seleksi awal calon pimpinan. Mengisi komposisi pimpinan mesti mempertimbangkan lima kompetensi berdasarkan tugas KPK. Pola penilaian yang berlaku sama untuk semua pesrta (homogen) menjadi tidak tepat. Sistem ranking tak bisa diberlakukan, sehingga Panitia Seleksi sejak awal perlu memilah kandidat berdasarkan komposisi tugas.

Pemerintah, melalui Panitia Seleksi, perlu membangun kesepakatan dengan DPR agar pemilihan kandidat didasarkan atas komposisi tugas. Jika tersedia sepuluh kandidat, diharapka Panitia Seleksi telah menyediakan dua calon pimpinan untuk masing-masing tugas. Cara ini akan sangat membantu DPR ketika melakukan pendalaman terhadap aspek kepatutan dan kelayakan calon pimpinan berdasarkan masing-masing tugas, bukan secara umum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun