[caption caption="Foto kontan.co.id"][/caption]Tensi nilai tukar untuk sementara menurun, meski belum tentu penguatan rupiah bakal otomatis membikin untung para pelaku ekonomi. Tekanan publik yang terus meningkat beberapa bulan terakhir harus diakui telah menyebabkan tim ekonomi Pemerintah berupaya menjalankan aksi maraton untuk meredam meluasnya pesimisme publik.
Praktis Pemerintah harus merespon hot issues dalam hitungan minggu. Mulai dari depresiasi rupiah, kelangkaan pasokan pangan akibat pembatasan impor, isu ancaman PHK massal dan masuknya pekerja asal cina, defisit transaksi berjalan dan tekanan harga komoditas di pasar internasional, ulah para korporasi jahat yang begitu percaya diri membakari hutan, target pajak yang diperkirakan tak akan tercapai, hingga tuntutan untuk menurunkan harga BBM dan sentimen negatif atas maraknya investasi asal tiongkok.
Beriringan dengan publikasi paket kebijakan ekonomi jilid 3, BKPM merilis kerjasama dengan 16 investasi padat karya yang akan menyerap 120 ribu lebih tenaga kerja untuk menepis isu ancaman PHK massal. Di luar dugaan, apresiasi rupiah mencapai 8 persen dalam hitungan hari. Tak ada satupun penjelasan yang mampu memuaskan rasa ingin tahu pubik. Penulis merasa situsi sosial media akibat apresiasi rupiah tersebut persis ketika hari terakhir kampanye Pilpres. Paska liputan media mengenai konser dua jari ada suasana yang mendadak senyap.
Harus diakui kondisi ini membuat tim ekonomi Pemerintah dapat menarik nafas agak dalam sementara waktu, meski Menteri Darmin Nasution segera mengingatkan jangan terlena. Media kemudian mulai ada yang memuat berita rencana Pemerintah untuk merilis paket kebijakan ekonomi jilid empat. Tidak salah memang, tapi jika strategi seperti ini dilakukan berulang-ulang, diperkirakan pemerintah terbawa arus histeria yang dipelopori media dan akan kehilangan perspektif jangka panjang.
Kelembagaan Ekonomi Bangsa Pelayan
Mari kita lupakan sejenak pertarungan total football tersebut. Ini penting untuk melihat apakah kebijakan investasi padat karya yang diambil beberapa waktu lalu cukup prospektif dalam memperbaiki beberapa fundamental ekonomi.
Puluhan tahun industri tekstil raksasa dengan jumlah tenaga kerja masif menguras devisa akibat besarnya volume impor bahan baku. Kerentanan terhadap tekanan nilai tukar harus diatas dengan orientasi ekspor. Ini pula yang menyebabkan kebanyakan investasi di subsektor ini umumnya didominasi oleh pemodal asing.
Pemerintah Jokowi tampak begitu ambisius untuk membangun kembali kejayaan industri padat karya besar. Dalam tempo pendek pilihan kebijakan ini seolah dapat menjadi quick win. Tapi jika tak dibatasi, dala9m jangka panjang ia akan menciptakan masalah cukup serius seperti yang telah dialami oleh Orde Baru.
Ada beberapa jebakan yang ditimbulkan oleh pilihan kebijakan ini. Pertama, kebutuhan cepat tanpa pembatasan menyebabkan kebijakan ini melahirkan arsitektur industri TPT yang rentan terhadap gejolak eksternal.
Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) di Indonesia pada akhirnya tetap memiliki sensitifitas tinggi terhadap bahan baku impor, terutama industri yang beorientasi pada pasar domestik. Untuk industri serat biaya bahan baku mencapai 56 persen dari biaya produksi, sementara industri pemintalan mencapai 60 persen dan industri garmen 58 persen.
Meski memiliki lahan luas Indonesia tidak memiliki basis produksi serat nabati yang memadai. Keberadaan industri petro kimia dan rayon juga masih sangat dikuasai oleh segelintir produsen dan berorientasi ekspor.