Mohon tunggu...
Alamsyah Saragih
Alamsyah Saragih Mohon Tunggu... Ombudsman RI -

@Alamsyahsaragih ... when it is costless to transact, the efficient neo-classical competitive solution obtains—Ronald Coase, 1960.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Mencermati Teror Ekonomi di Desa

18 Januari 2016   18:41 Diperbarui: 19 Januari 2016   08:36 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Krisis kehidupan di Desa: pangan, air, energi, ekologi dan tradisi berdesa. Konsentrasi penguasaan lahan dan konflik agraria telah membawa lima krisis kehidupan di Desa. Kelima krisis tersebut telah menyebabkan Desa sebagai satuan komunitas mengalami penurunan daya dukung terhadap kualitas hidup warga.

Krisis pangan ditandai dengan adanya 15,5 juta warga di pedesaan yang harus menerima bantuan beras dari pemerintah (raskin) pada tahun 2015. Ada 15.775 Desa berstatus rawan air, dan 1.235 Desa berstatus kekeringan (BPS, 2013). Kendati PLN menyatakan pada tahun 2013 hanya 12,3 persen Desa yang tak tersambung listrik, namun tak diketahui berapa Desa yang tersambung namun tak memiliki pasokan penuh waktu. Ketiadaan pasokan listrik yang memadai akan mengahambat aktifitas ekonomi alternatif di Desa.

Krisis ekologi di pedesaan ditandai dengan laju kerusahakan hutan primer yang telah mencapai angka 840.000 hektar pertahun (2012) dan hutan bakau mencapi 65 persen dalam tiga dekade (KLH, 2006). Di wilayah pesisir, terumbu karang yang masih berkondisi baik hanya mencapai 32 persen (LIPI, 2012).

Pemerintahan Desa bahkan cenderung menjadi perpanjangan tangan dari aktor-aktor luar yang berkepentingan terhadap sumber daya lokal. Kasus pembunuhan Salim Kancil di Lumajang adalah bukti tak terbantah atas kondisi ini. Desa telah mengalami krisis tradisi berdesa.

Dampak sosial ekonomi: ekonomi alternatif tak berkembang, kaum muda tak bangga jadi petani. Krisis energi merupakan salah satu penyebab tidak berkembangnya industri pedesaan yang terkait dengan bahan lokal. Situasi yang terus memburuk telah menyebabkan dalam kurun waktu 2003-2013 ada 5,1 juta rumah tangga petani yang terpaksa alih profesi masuk ke sektor lain (BPS, 2013). Industri pedesaan tak berkembang sehingga kebanyakan mereka bermigrasi ke sektor jasa minim keterampilan. Akibatnya 45 persen tenaga kerja ditampung di sektor jasa (BPS, 2014).

Di samping kesenjangan pendapatan yang tinggi (gini ratio mencapai 0,42 pada tahun 2015), kurang lebih 53 persen PDB Indonesia didominasi oleh konsumsi. Secara tak langsung ini mencerminkan struktur pendapatan penduduk, rata-rata 53 persen penghasilan digunakan untuk konsumsi. Dapat diduga penduduk lapis pendapatan bawah akan menggunakan porsi pendapatan lebih besar untuk konsumsi dan tak punya sisa untuk ditabung. Data Bank Dunia (2014) menunjukkan bahwa penduduk di pedesaan berusia 25 tahun ke atas yang memiliki rekening di bank hanya mencapai 28,7 persen.

Pendapatan yang minim ini juga yang menyebabkan warga berpenghasilan pas-pasan di pedesaan tak memiliki kesempatan meningkatkan keterampilan, dan akhirnya cenderung memasuki sektor jasa berketerampilan rendah. Studi ILO pada tahun pada tahun 2014 menunjukkan bahwa ketidakcocokan keterampilan buruh tani dan perikanan mencapai 88,9 persen dari pekerja, sedangkan pengrajin dan perdagangan mencapai 72,4 persen. 

Laporan Bank Dunia menunjukkan ada 126 ibu melahirkan dari setiap 100.000 angka kelahiran yang mengalami kematian dan ada 23 bayi mati untuk setiap 1.000 kelahiran hidup. Angka-angka tersebut masih jauh dari target Millenium Development Goals yang harus dicapai pada 2015.

Kehidupan di Desa yang memburuk juga ditandai dengan posisi lembaga sosial ekonomi di Desa melemah. Lembaga sosial ekonomi Desa yang lemah ditandai dengan ketidakmampuan untuk mempengaruhi keputusan di Desa (AKATIGA, 2015). Lebih jauh, sebuah penilitian menunjukkan bahwa kebanyakan kaum muda di Pedesaan sudah tak memiliki kebanggaan terhadap profesi petani (Ben White, 2012). 

BUKAN HANYA PEKERJAAN RUMAH MENTERI DESA

Berbagai fakta di atas menjadi bukti bahwa menyelesaiakan permasalahan di Desa memerlukan sinergi lintas aktor dan lintas sektor. Wilayah hulu yang kerap ditandai dengan konflik agraria mensyaratkan tekad yang kuat dari rezim berkuasa untuk segera menjalankan agenda penyelesaian konflik agraria dan melakukan redistribusi lahan secara lebih sistematik. Ketimpangan penguasaan lahan yang begitu tinggi akan menjadi kendala bagi Pemerintah dalam megembangkan perekonomian rakyat.

Di wilayah tengah, upaya mengatasi krisis pangan, air, energi dan ekologis mensyaratkan sinergi kementerian terkait yang boleh jadi berada di bawah kodinasi kementerian koordinator berbeda. Hal ini logis, mengingat Desa adalah suatu teritori dengan interaksi beragam aspek kehidupan. Presiden memerlukan skema khusus untuk mempercepat proses penanganan berbagai krisis yang dihadapi oleh Desa ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun