Setelah depresiasi rupiah terus berlanjut dan Debt Service Ratio (DSR) tier-2 membengkak hingga mencapai 56,08 persen, para pembuat kebijakan tingkat atas mulai mencermati perkembangan utang swasta. DSR tier-2 menandai kemampuan perekonomian Indonesia untuk memenuhi kewajiban utang luar negerinya dibandingkan ekspor. Ini penting untuk melihat apakah sektor perekonomian eksternal Indonesia sedang menuju default atau masih dalam batas wajar.
Dalam sepuluh tahun terakhir ada 90,1 persen utang luar negeri swasta berbentuk USD dan 27,8 persen berjangka pendek. Kebutuhan untuk pembayaran utang jatuh tempo ini juga salah satu penyebab rupiah tertekan. Utang luar negeri swasta yang diserap oleh sektor industri pengolahan terus menurun dari 41,7 persen di tahun 2012 menjadi hanya 19,8 persen di pertengahan 2015.
Perkembangan paling pesat terjadi di sektor keuangan yang mengambil porsi 30,3 persen di pertengahan 2015. Pada tahun 2012 distribusi utang luar negeri ke sektor keuangan baru mencapai 16,2 persen. Secara teoritik, pinjaman ke lembaga keuangan lebih mudah untuk berpindah dibandingkan pinjaman ke sektor industri manufaktur.
Perkembangan yang tak terlalu menggembirakan tentunya. Dominasi utang luar negeri di sektor keuangan mengindikasikan bahwa secara tak langsung utang luar negeri swasta masuk membiayai berbagai sektor produksi, termasuk yang berorientasi pada pasar dalam negeri. Kondisi ini ikut menyebabkan permintaan terhadap dollar meningkat pada saat pembayaran.
Mengapa Transaksi Dalam Negeri Tersendat?
Krisis transaksi luar negeri ini seperti mengevaluasi kinerja pemerintah selama ini. Paling tidak menjadi bukti pentingnya menyeimbangkan orientasi kebijakan agar dapat lebih meningkatkan volume dan kualitas transaksi dalam negeri. Dalam hal kebutuhan pembiayaan, meningkatkan daya saing lembaga keuangan menjadi salah satu fundamental yang sangat menentukan.
Net Interest Margin (NIM) mencerminkan selisih antara bunga pinjaman dan bunga simpanan di Bank. NIM bank umum di Indonesia sejak 2012 hingga pertengahan tahun 2015 berada di atas 5 persen, kecuali periode di antara Mei 2014-Mei 2015 yang berada di bawah nilai tersebut. Selain Singapura yang mendekati Indonesia, hampir semua negara ASEAN memiliki NIM jauh di bawah Indonesia.
Return on Equity (ROE), yang mencerminkan tingkat keuntungan, di sektor perbankan Indonesia juga sangat tinggi. Bloomberg merelease return on equity perbankan Indonesia mencapai 19,5 persen. Jauh di atas kawasan Asia Pasifik yang hanya mencapai 15,6 persen.
Tingginya net interest margin dan return on equity di perbankan nasional ini menyebabkan daya tarik tinggi bagi masuknya utang luar negeri swasta ke sektor keuangan. Jika tak hati-hati dan terus menekan bunga simpanan, kebijakan ini bahkan berpotensi mendorong larinya dana besar ke luar negeri.
Di sisi lain kelangkaan pasokan dalam negeri juga menyebabkan utang luar negeri swasta menjadi salah satu sumber pembiayaan kegiatan ekonomi domestik. Meningkatnya utang luar negeri swasta dalam membiayai aktivitas ekonomi yang berfokus pada pasar domestik dapat menekan nilai tukar manakala sumber pembiayaan dalam bentuk rupiah harus digunakan untuk membayar utang luar negeri jatuh tempo dalam bentuk dolar.