Dalam sepuluh tahun terakhir dominasi Singapura sebagai negara asal kreditor juga terus membesar. Dari USD 169 miliar utang luar negeri swasta di pertengahan tahun 2015, 35 persen kreditor berasal dari Singapura. Ironisnya, pada minggu terakhir Agustus lalu media memuat tiupan peluit Dirut PT Bank Mandiri, Budi G Sadikin, yang mengatakan bahwa ada kira-kira USD 300 miliar (kurang lebih Rp. 4.000 triliun) uang warga negara Indonesia yang diparkir di Singapura. Separuh di antaranya adalah dana korporasi.
Menteri keuangan merespon isu tersebut dengan melakukan kunjungan ke Singapura untuk melakukan pertukaran informasi, dan menjanjikan akan menerapkan tax amnesty agar dana tersebut ditempatkan kembali oleh pemiliknya ke Indonesia. Belum diketahui sejauh mana perkembangan dari pertemuan Menteri Keuangan dengan pihak Singapura.
Tax Amnesty belum tentu menarik bagi pemilik dana, karena persoalan keamanan, jaminan perlindungan dan aspek legal juga penting bagi mereka. Bagaimanapun lebih menguntungkan jika dana tersebut masuk ke Indonesia dalam bentuk utang luar negeri. Memang mengenaskan membayangkan bahwa untuk menggerakkan perekonomian ternyata negara ini harus memobilisasi dana warga negaranya melalui negara lain.
Selain mengurangi tingkat risiko, perbankan domestik tak dapat terus dibiarkan menikmati tingkat keuntungan (ROE) dengan cara mempertahankan net interest margin (NIM) tinggi sambil mengorbankan tingkat bunga simpanan domestik. Jika situasi ini tak diperbaiki diperkirakan dana akan terus mengalir ke Singapura.
Waspadai Transaksi Tak Berkualitas
Utang luar negeri swasta juga meningkat di sektor pertambangan. Masuknya utang luar negeri ke sektor pertambangan tak jarang menuai kontroversi karena dinilai tak sehat. Banyak korporasi swasta nasional mengambil peran sebagai broker dan memanfaatkan kekuatan politik pemilik.
Sejak Undang-Undang Minerba diberlakukan, Pemerintah menerapkan ketentuan pelepasan saham (divestasi) oleh kontraktor asing ke Pemerintah Indonesia. Lemahnya instrumen hukum pendukung dan kuatnya intervensi politik telah menyebabkan pelaksanaan kebijakan tersebut menghadapi banyak kendala dan inkonsistensi.
Kebanyakan daerah penghasil memilih membentuk BUMD untuk memanfaatkan peluang divestasi tersebut. Alasan dibalik pembentukan BUMD ini adalah untuk memudahkan mencari sumber pendanaan eksternal mengingat anggaran pemerintah daerah penghasil umumnya terbatas.
Di Nusa Tenggara Barat, Pemerintah Daerah memerlukan dana sebesar USD 866 juta untuk membeli 24 persen saham Newmont Nusa Tenggara dalam tiga tahap. Untuk keperluan tersebut tiga Pemda membentuk BUMD PT Daerah Maju Bersaing (DMB) yang sahamnya dimiliki oleh masing-masing Pemerintah Daerah.
Akibat ketidakmampuan membiayai pembelian saham tersebut, PT DMB bersama PT Multi Capital kemudian mendirikan perusahaan patungan PT Multi Daerah Bersaing (MDB). Ketiga pemerintah daerah secara bersama memiliki 25 persen saham melalui PT DMB. Adapun 75 persen sisanya dimiliki oleh PT Multi Capital, yang 99 persen sahamnya dimiliki oleh Bumi Resource Mining (BRM) milik Bakrie.
Dengan kondisi tersebut berarti Pemerintah Daerah di NTB hanya akan memiliki 6 persen saham NNT melalui ketentuan divestasi, sedangkan Bakri akan menikmati 18 persen saham NNT. Karena Pemerintah Daerah tidak sanggup menyetorkan dana untuk membeli saham 25 persen melalui PT DMB, PT Multi Capital berinisiatif menalangi dengan sistem pengembalian dipotong dari deviden yang diterima.
ICW mensinyalir ada kerugian negara dalam proyek divestasi kepada Pemerintah Daerah. Meski DMB yang dimiliki ketiga Pemerintah Daerah hanya menguasai 6 persen saham Newmont, seharusnya DMB menikmati dividen USD 47,21 juta. Nyatanya DMB hanya menerima USD 7,38 juta. Menurut ICW ini terjadi karena Multi Capital memotong dividen DMB untuk melunasi utang kepada Credit Suisse Singapura. Utang ke korporasi di Singapura ini digunakan untuk memborong 24 persen saham NNT melalui perusahaan patungan PT Multi Daerah Bersaing (Tempo.co, 15/5/2015).