Pernyataan Ketua Harian DPP Golkar Nurdin Halid bahwa penunjukan Bupati Musi Banyuasin (Muba) Dodi Reza Alex maju sebagai Cagub Sumsel bukan untuk mengukuhkan dinasti politik di Sumsel jelas sulit diterima. Karena kalau memang bukan untuk itu, seharusnya DPP Golkar, Gubernur Petahana Alex Noerdin serta Dodi-nya sendiri mempertimbangkan aspek perasaan warga Musi Banyuasin yang belum ada satu tahun dipimpinnya.
Apakah warga Muba menerima keputusan Dodi mengabaikan begitu saja janji-janji politiknya selama kampanye? Â Adanya suara pro dan kontra di kalangan masyarakat Muba menunjukkan banyak dari mereka yang kecewa dengan keputusan Dodi tersebut.
Maka bukan hal yang aneh jika langkah Dodi maju pada Pilgub Sumsel tahun depan menimbulkan polemik dikalangan masyarakat dan menganggapnya sangat tidak patut. Alasan utamanya tentu, karena putera sulung Gubernur Sumsel Alex Noerdin tersebut belum genap satu tahun menjabat sebagai bupati, bahkan masa iddah untuk tidak mengganti SKPD pun belum berakhir.
Salah satu yang mengkritik keputusan Dodi maju di Pilgub Sumsel 2018 adalah Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini. Menurutnya, secara hukum Dodi yang kini sebagai Bupati Muba ingin maju jadi Gubernur Sumsel memang dibolehkan. Meski persyaratannya harus cuti. Namun secara etika politik sangat tidak layak karena baru menjabat kurang dari setahun sudah mengundurkan diri untuk mengejar posisi yang lebih tinggi.
Bagi Titi, sebagai Bupati, Dodi terikat pada komitmen moral dan politik untuk memenuhi janji-janjinya pada masa kampanye pada warganya. Lagipula kalau sekedar untuk terpilih lalu belum berapa bulan langsung mundur, lebih baik sejak awal tidak usah mencalon sekalian. Titi menegaskan, keputusan yang diambil Dodi di Sumsel adalah contoh prilaku kepala daerah yang buruk karena tidak amanah atas jabatan yang diamanahkannya.
Kritik Titi ini sebagai bentuk pembelajaran agar kepala daerah terpilih amanah pada mandatnya. Titi mengingatkan kepada seluruh kepala daerah di Indonesia, khususnya Dodi, jangan karena merasa populer, belum beberapa bulan jadi bupati, karena merasa punya elektabilitas jadi Cagub dan Cawagub langsung mundur juga untuk meraih posisi yang lebih prestisius.
Masih menurut Titi, fakta ini juga pembelajaran yang buruk bagi kaderisasi dan rekrutmen parpol. Seolah-olah parpol tidak punya kader mumpuni lainnya sehingga harus memaksakan kader yang baru menjabat beberapa bulan untuk maju sebagai kepala daerah pada posisi lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H