Alamsyah M. Dja'far
Telpon selepas magrib membuyarkan semua rencana penting kami esok siang. Segala sesuatunya dipersiapkan ranum-ranum.
“Yo opo rek, besok kita dilarang turun!” Kata Hasbullah setengah berteriak. Mata lelaki ceking berwajah celung berambut sebahu ini mendelik menatap kami: aku, Abror, Farisi, dan beberapa teman yang berkumpul di ruang tengah. Rona wajahnya sudah seperti penyidik polisi menginterogasi pelaku pencuri kotak amal masjid. Aku menatap Abror dan Farisi. Kami bertiga bersipandang dan berusaha menerjemahkan arti tatapan mata itu.
“Siapa yang larang?” tanya Abror. Lelaki lampai itu berhasil menerjemahkan arti tatapan itu.
Hasbullah menyebut nama seorang tokoh negeri ini. Kami terkesiap. Bagi mahasiswa seperti kami, tokoh yang disebut itu sebuah ajimat. Bayangannya pun mungkin gugup kami pandangi. Perkataanya diingat sebagai kata bijak, buku-buku yang disebutnya dalam tulisan, diskusi, atau seminar-seminar, akan diuber-uber dan jadi rujukan. Kekaguman itu biasanya makin sulit dijelaskan jika sudah dibumbui kisah-kisah ajaib yang kadang sulit dinalar. Anehnya banyak dari kami yang percaya pada keajaiban tokoh itu.
“Apa alasannya aksi sepenting ini dilarang?” tanya Abror lagi.
“Mbuh ora ngerti. Pokoknya tidak boleh turun!”
“Yakin, orang yang menelpon tadi dia?” Abror tak puas dan memastikan betulkah yang meghubungi Hasbullah si tokoh itu.
“Bukan. Asistennya,” jawabnya masih dengan nada kecewa.
“Mengapa tak bilang kalau persiapan teman-teman di sini sudah matang. Kalau tidak turun besok, momentum bakal hilang. Dalam aksi, momentum itu penting bukan?”
“Sudah saya jelaskan. Saya bilang perlengkapan aksi sudah siap. Spanduk, agiprop dan bis sudah fiks. Tetap saja kita diminta tidak turun.”