Alamsyah M. Dja’far**
Saya memang tak lagi menetap di Pulau Tidung Kepulauan Seribu. Sejak lulus kuliah delapan tahun silam, saya tinggal di “darat”. Tapi, saat lebaran dan saat-saat libur panjang, saya masih sering pulang kampung. Tradisi ini masih saya lakukan hingga sekarang. Orang Pulau mungkin akan mengatakan saya sudah sudah jadi “orang kota”. Orang opulau menyebut demikian untuk lawan kata “orang pulau” –istilah yang sepertinya kurang tepat, sebab “kota” lawannya “desa”. Yang unik, mereka yang tinggal di sebuah desa di pulau Jawa ini, misalnya, kadang-kadang masih saja dibilang “orang kota”.
Meski sudah lama tak menetap pulau, terpisah beribu-ribu kilometer, kampung halaman selalu punya tempat istimewa di hati setiap orang, termasuk saya. Kampung halaman tak hanya bermakna fisik. Ia juga dipahami sebagai nonfisik berupa nilai-nilai yang bisa dirasa dan diyakini. Ia menjadi sesuatu yang “primordial”, berhubungan dengan hal-hal yang mendasar dan permulaan.
Kampung halaman adalah bagian dari ikatan dasar lain yang membangun identitas seseorang seperti hubungan darah keluarga, kepercayaan, dan bahasa. Itulah mengapa organisasi berbasis daerah seperti Forum Mahasiswa Kepuluan Seribu (FMKS) ini disebut juga “komunitas primordial”. Itu pula alasan mengapa tak sedikit orang berwasiat, jika meninggal minta dikuburkan di kampung halaman. Kalaupun tak berwasiat, sudah jadi kebiasaan keluarga memba jenazah pulang ke kampung halaman untuk dikubur di sana. Maka hitung saja sudah berapa banyak orang-orang pulau yang tinggal di “darat” yang meninggal dan lalu dikubur di pulau. Hal yang sama juga bisa menjelaskan fenomena tradisi mudik, yang setiap tahun meninggalkan korban kecelakaan lalu lintas. Makanya dikenal pula istilah hubb al-wathan min al-iman, cinta tanah air sebagian dari Iman. Bentuk tanah air paling kecil adalah kampung halaman.
Kurang lebih ini yang mungkin mendorong saya selalu ingin terlibat dalam pergumulan merespon perkembangan masyarakat pulau berikut sejumlah problematikanya. Saya, dan semua orang-orang pulau saya kira, akan selalu merasa tetap sebagai orang pulau, sampai kapanpun. Kita selalu ingin kehadiran kita ini bermanfaat bagi kampung halaman.
Impian Pulau Seribu Masa Depan
Saya memulai mimpi tentang masa depan Pulau Seribu dari tesis ini. Bangsa yang baik dan kuat ditentukan oleh keseimbangan hubungan antara negara (state), masyarakat sipil (civil society), dan pasar (market). Negara kuat tapi masyarakat sipilnya lemah hanya akan memberi jalan mulus bagi lahirnya sistem tiranik dan otoriter seperti di masa Orde. Jika sebaliknya, yang terjadi justru masyarakat yang sengkek, seenaknya sendiri, dan barbar.
Di sini “negara” adalah institusi yang meliputi lembaga eksekutif, yakni pemerintah dari pusat hingga daerah – seperti Pemerintah Kabupaten Kepulauan Seribu, suku dinas-suku dinas, hingga kelurahan untuk konteks Pulau Seribu; lembaga legislatif seperti DPR atau DPRD; maupun yudikatif seperti Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Sementara itu masyarakat sipil adalah institusi sosial yang terdiri dari asosiasi-asosiasi profesional, LSM, media massa, organisasi kemahasiswaan, atau organisasi keagamaan. Sedang “pasar” mencakup pelaku-pelaku usaha, perusahaan-perusahaan lokal maupun asing.
Ketiga institusi di atas memiliki peran dan kewenangan yang berbeda. Negara adalah wilayah publik di mana keputusan publik dan hak-hak rakyat diputuskan dan ditantang. Misalnya saja bagaimana aturan kapal penumpang dan barang ditetapkan. Untuk itu dibuat rancangan UU Perhubungan yang di dalamnya mengatur hal tersebut. Di level daerah bisa pula diatur hal serupa melalui Peraturan Daerah dengan mengacu UU. Adapun prosesnya mesti melibatkan partisipasi publik, mulai dari pelaku jasa transportasi, masyarakat, ahli dan lain-lain.
Jika negara bicara kepentingan publik, maka pasar biasanya cenderung memperlakukan orang sebagai individu, baik sebagai konsumen atau pekerja. Tapi, pasar berjasa besar menggerakan mesin ekonomi masyarakat negara dan masyarakat sipil. Dengan usahanya perusahaan membayar pajak, juga memperkerjakan orang. Agar tak merugikan masyarakat umum, maka negara berwenang mengatur dalam bentuk regulasi untuk menetapkan mana yang boleh dan tidak boleh pelaku pasar. Contoh sederhana. Supaya tak merugikan masyarakat, maka harus ada aturan yang mengatur yang boleh dan tak boleh dilakukan oleh penyelenggara wisata yang sekarang ini tumbuh menjamur.
Berbeda dengan keduanya, masyarakat sipil lebih merupakan arena di mana kelompok warga negara berusaha mencapai kepentingan bersama melalui tindakan kolektif, dari hal-hal yang bersifat politis, sosial, hingga kultural. Di wilayah inilah, masyarakat dapat menuntut pemerintah menyediakan sarana-prasarana, meminta pelaku usaha dan wisatawan menghormati budaya masyarakat setempat dan seterusnya.