[caption id="attachment_174569" align="aligncenter" width="425" caption="ilustrasi/admin(KOMPAS.com/LAS)"][/caption] Beberapa minggu lalu saya dikabari, nelayan muroami dari Kepulauan Seribu yang akan menangkap ikan di sekitar perairan Belitong tak memperoleh izin dari dinas terkait. Kini nasib mereka terkatung-katung menunggu kejelasan dan tak beraktivitas. Sebagian lagi ada yang memberanikan diri menangkap ikan tanpa mengantongi izin. Pokok pangkalnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER 08/MEN/2011 yang diteken 11 Maret 2011. Isinya, merivisi keberlakuan peraturan PER.02/MEN/2011 Tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Peraturan Nomor 2 menegaskan, apa yang tercantum dalam peraturan itu berlaku sejak ditandatangani, 31 Januari 2011. Peraturan Menteri Nomor 8 lalu merevisinya dengan menegaskan, peraturan itu berlaku setahun berikutnya terhitung 1 Februari 2012. Salah satu isi Peraturan Nomor 2 itu adalah larangan penggunaan muroami sebagai salah satu alat penangkapan ikan (API) di semua jalur penangkapan ikan dan semua wilayah pengelolaan perikanan (WPP). Larangan termaktub di pasal 29 ayat (11). Peraturan itu acuannya pasal 7 ayat (1) huruf f, huruf g, dan huruf h UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009. Isinya menjelaskan kewenangan menteri menetapkan jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan; jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alat bantu penangkapan ikan; daerah, jalur, dan waktu atau musim penangkapan ikan. Pelarangan muroami sendiri tampaknya ditetapkan dengan pertimbangan merusak lingkungan sebagaimana diamanatkan 7 ayat (2) huruf i.
Di Kepulauan Seribu, larangan ini sebetulnya sudah direspon nelayan sejak Agustus tahun lalu. Melalui Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Pulau Seribu, mereka mengirim surat ke Bupati, DPRD DKI dan Kementerian Kelautan. Isinya meminta agar tenggat awal Februari 2012 itu dipertimbangkan lagi. Tenggat dirasakan terlalu cepat untuk mereka beralih pekerjaan atau mengganti alat lain yang dihalalkan. Apalagi sosialisasi peraturan itu mereka anggap juga tak maksimal. Difasilitasi pihak Kabupaten Kepuluan Seribu, sebagian perwakilan nelayan pernah berdialog dengan pihak Kementerian Kelautan. Bahkan, menurut keterangan salah seorang peserta yang hadir, pihak kementerian mengatakan ternyata API muroami yang ada di Pulau Seribu berbeda dengan yang ada di tempat lain yang menjadi dasar pelarangan. Nelayan muroami juga disarankan mengubah nama dan tak lagi menggunakan nama muroami. Pertemuan dengan perwakilan nelayan muroami se-Indonesia dengan pemerintah juga sempat dilakukan di Bandung. Hasilnya dijanjikan ada revisi untuk peraturan Jalur Penangkapan Ikan. Tapi, hingga kasus pelarangan itu terjadi sepertinya revisi surat menteri belum diteken. Jumlah nelayan muroami di Pulau Seribu saat ini berjumlah 700-an orang. Sekitar 400 orang berada di Pulau Tidung, 260 orang di Panggang dan 80 nelayan di Kelapa. Sementara kapal muroami di Pulau Tidung sebanyak 20 buah, 13 di Panggang, dan 2 di Harapan. Itu data yang dihimpun HNSI Kepulauan Seribu.
Muroami adalah pola penangkapan ikan tradisional menggunakan jaring muroami bermata sekira tiga jari orang dewasa. Tak hanya beredar di sekitar perairan Kepulauan Seribu, daerah operasinya hingga ke pulau Belitong atau Karimun Jawa. Kebijakan otonomi daerah belakangan banyak membuat aktivitas mereka ditolak warga setempat. Kegiatan ini sudah berlangsung sejak tahun 30-an dan mampu menjadi penggerak roda ekonomi di Kepulauan Seribu. Sebagian putera pulau yang berhasil meraih pendidikan tinggi tak lain berkat hasil usaha ini. Bisa dikatakan, kegiatan muroami telah menjadi “subbudaya” masyarakat Pulau Seribu. Sebelum tahun 80-an, penyelam muroami tak dibantu alat bantu pernapasan. Mereka menggunakan pernapasan alamiah. Setelah itu baru muncul periode menggunakan mesin
kompresor melalui selang.
Kompresor, mesin yang biasa kita temui untuk mengisi angin ban kendaraan. Penggunaan kompresor ini bermasalah. Tak sedikit nelayan muroami diserang penyakit dekompresi yang menyebabkan lumpuh permanen. Sebagian nyawa mereka tak tertolong. Puluhan orang meninggal lantaran kompresor. Tanpa kontrak kerja yang jelas dan jaminan asuransi, perobatan mereka hanya didasarkan kebijakan pemilik muroami. Karena mematikan itu kompresor dilarang. Dulu aktivitas muroami biasanya menggunakan satu kapal besar yang menggandeng beberapa kapal kecil dan memperkerjakan lebih dari 40-orang. Sekarang, dengan logika efesiensi, membuat mereka hanya butuh sebuah kapal sedang dengan nelayan tak lebih dari 10-nelayan. Beberapa studi dan penelitian menyebut ada beberapa aktivitas muroami yang dapat merusak lingkungan, salah satunya ketika menginjak karang ketika memasang jaring. Tampaknya “daya rusak” itu yang membuat muroami dilarang. Meski begitu tentu saja pelarangan yang tak dilakukan secara terencana dan komperhensif hanya akan memunculkan problem baru. Merespon problem ini ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian. Pertama, Peraturan Menteri Nomor 2 tak mencantumkan definisi yang jelas tentang alat penangkapan ikan, termasuk definisi muroami. Ketidakjelasan semacam ini akan kebingungan dan perdebatan tentang apa yang dimaksud dengan muroami. Padahal prinsip penegakan hukum jelas mesti memenuhi prinsip kepastian hukum (
principle of legal security). Tanpa kepastian itu, larangan itu mungkin akan jadi “pasal karet”. Karenanya, peraturan menteri itu perlu direvisi. Kedua, problem baru yang yang menunggu pascalarangan adalah melesatnya pengangguran dan kemiskinan baru. Jika di Kepulauan Seribu terdapat 700 nelayan dan masing-masing menghidupi tiga orang (seorang isteri dan dua anak), maka akan ada 2100 jiwa yang masuk dalam kubangan kemiskinan. Ini belum termasuk nelayan muroami di daerah lain di Indonesia. Jika pelarangan tak bisa dihindari maka upaya-upaya pendidikan dan pendampingan tentu dibutuhkan. Bentuknya bisa penyuluhan dan diseminasi informasi kepada nelayan-nelayan bagaimana cara menangkap ikan dengan aman dan menggunakan alat-alat yang ramah lingkungan. Bisa pula dengan memberi kredit mikro kepada mereka untuk investasi alat-alat penangkapan ikan ramah lingkugan. Pihak HNSI Pulau Seribu sendiri tampaknya setuju dengan beberapa hal dalam peraturan seperti pelarangan kompresor dan keinginan untuk menjaga lingkungan. Yang penting, kegiatan muroami tak dilarang. Mereka juga mendesak pemerintah menginformasikan alat mana yang dapat dipakai sesuai ketentuan sekaligus juga efesien untuk usaha mereka selanjutnya. Pemerintah Kabupaten sesungguhnya telah memikirkan soal ini. Salah satu dengan mengembangkan program mengubah tradisi tangkap ke budidaya. Akhir tahun 2011, Pemerintah Kepulauan Seribu mengklaim telah berhasil mengalihkan 600 dari 4.300 nelayan tangkap tradisional di Kepulauan Seribu ke nelayan budidaya. Meski begitu, ini tentu belum bisa menjawab problem nelayan muroami secara keseluruhan. Ketiga, perlu segera dicari solusi terdekat untuk mengatasi masalah nelayan-nelayan muroami yang hingga kini terkatung-katung lantaran larangan alat muroami itu.[]
Foto : Idham/
gfja16.blogspot.comBaca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Sosbud Selengkapnya