“Dengar dari siapa?” suara Haji Mansur seperti orang bangun tidur. Ogah-ogahan.
“Dari orang-orang?”
“Yang punya tanah masih bingung. Dijual ke orang Jakarta atau ke orang pulau. Ada orang pulau yang akan membeli” Jawaban lelaki gaek jangkung berwajah kotak itu masih tak berbeda.
Tanah yang dijual itu luasnya 1500 meter. Lokasinya tak jauh dari kantor kelurahan. Konon di sana akan dibangun pelabuhan baru. Menurut Haji Mansur, jika dijual ke orang pulau pasti akan dipecah-pecah. Padahal si pemilik tanah, kurang sreg kalau dijual eceran.
“Si pemilik tanah sepertinya masih maju mundur menjual jual tanah”
“Tolonglah Wak Haji, kalau memang dijual saya dibagi barang 60 meter”
Orang lugu seperti Rahim tentu sudah sering dihadapi Haji Mansur. Ratusan orang bahkan. Dan ia tahu bagaimana caranya memainkan emosi calon pembeli untuk menaikan harga. Pengalaman mengajarkannya. Ia juga mengerti tipe dan karakter saudara-saudaranya sekampung. Agar bisa mendapatkan harga yang cocok, orang seperti Rahim hanya cukup diberi trik pura-pura tak butuh, lalu ditutup dengan trik seolah-olah menolong saudara.
“Kalaupun dia mau menjual, harganya mungkin Rp 350 ribu per meter. Mau? Kalau mau nanti aku sampaikan ke pemilik tanah”
“Apa masih bisa kurang Wak Haji? Bagaimana kalau Rp 300 ribu?”
“Belum tahu. Nanti coba saya kabari. Sekalian soal apa memang tanah itu jadi dijual. Saya bantu sebisanya. Apalagi kan kamu bukan orang lain. Yang penting persiapkan saja uangnya.”
Mendapat jawaban begitu, mata Rahim berbinar. Haji Mansur memang masih bertalian darah dengan Bapaknya. Kakek dari Haji Mansur masih famili dengan buyut Rahim.