“Mengulur waktu. Strategi agar mereka tetap memegang kendali Indonesia.”
Mobil angkot yang kami sewa berhenti persis di depan pintu pagar sebuah rumah yang punya halaman jembar. Bangunannya sederhana. Di sebelahnya berdiri masjid berkulit krem. Diterima seorang lelaki yang sudah dikenali Hasbullah, kami lalu dibawa ke kamar tidur si tokoh. Orang yang ingin kami temui itu tengah berbaring mengenakan kaos berkerah bercelana pendek. Mendengar salam kami ia bangun dari tidurnya lalu duduk di pinggir dipan.
Ketika melihat wajahnya, terus terang tiba-tiba saja saya gugup seperti orang sedang membaca akad nikah di hadapan penghulu dan mertua. Sepertinya Hasbullah, Abror, Farisi, dan tiga tema lain tak beda jauh keadaannya. Kami berjalan berbaris seperti tahanan yang diantar menuju sel penjara. Tak ada obrolan. Satu-satu menemui si tokoh, memberi salam, lalu mencium tangannya dengan takzim. Masing-masing menyebut nama. Pertama Hasbullah, setelah itu saya, Abror, Farisi, disusul tiga lainnya. Setelah itu pelan-pelan kami berenam duduk melantai.
“Gimana kabar kalian, sehat?” tanya si tokoh
“Alhamdulillah, sehat,” jawab kami serempak tapi jelas tampak kikuk.
Setelah itu kami diam. Pertama-pertama Farisi menyenggol bahu Abror, Abror kepada Farisi, Farisi kepada saya, dan terakhir saya menyenggol bahu Hasbullah. Itu artinya, “Hasbullah, jelaskan maksud kedatangan kita malam ini. Jangan lupa, kau katakan soal ketidaksetujuan yang sudah kita diskusikan berbusa-busa tadi!”
Aneh. Hasbullah yang selama di sekreteriat dan perjalanan menuju Ragunan berapi-api itu mematung, terperangah, mengenaskan. Ia tak lagi seperti Tan Malaka. Lebih tepatnya seperti ibu-ibu pengajian yang sedang mendengar ceramah mubalig pujaannya.
“Saya bukan melarang kalian berdemo. Hanya sekarang ini kondisinya tidak bisa diduga-duga ke mana arahnya. Saya tidak ingin ada dari kalian dan teman-teman mahasiswa lainnya mati dan jadi korban sia-sia,” terang si tokoh.
Suaranya jernih. Mimik wajahnya seperti bayi gembil tertidur pulas. Tak tanpa kecemasan meski yang baru saja diutarakan itu menyangkut nyawa manusia bukan ayam potong. Saya langsung ingat nasib puluhan teman-teman mahasiswa yang meninggal ditembus peluru tajam tentara. Sebagian lagi diculik. Sampai kini riwayatnya seperti dikaramkan laut. Tiba-tiba juga saya ingat kalau si tokoh itu juga langganannya percobaan pembunuhan lantaran dianggap melawan penguasa dan kritis terhadap tentara. Kami berenam masih diam.
“Begini saja, pilih saja di antara kalian yang bisa mewakili mahasiswa menyampaikan aspirasi. Saya akan temani menemui jenderal yang bertanggung jawab.” []
Depok, 14 Juli 2012