“Harus kita tegaskan, larangan itu tidak rasional. Mungkin saja beliau belum mendapat informasi yang tepat. Perubahan sekarang ini kan bukan perjam. Perdetik! Dinamis! Kita mesti bergerak cepat! Jika RUU itu lolos, saya yakin kondisi beliau juga genting. Masak beliau tidak mengerti ini?” Hasbullah nyerocos.
Kami yang diajak bicara terpengaruh. Saya juga tak terima kalau usaha saya menulis selebaran agitasi dan propaganda kemudian menggandakannya dengan uang sendiri dibatalkan tanpa penjelasan rasional.
“Jangan-jangan beliau sudah ambil jalan kompromi dengan status quo?” kata saya kepada Hasbullah mengajukan pikiran lain. Pertanyaan itu sebetulnya saya tujukan pula kepada Abror, Farisi, dan tiga teman lain yang ikut ke Ragunan malam itu dengan menyewa angkot.
“Apa manfaatnya? Kalau betul demikian ini jelas pengkhianatan!” Farisi mulai menyerang.
“Ketimbang jatuh korban lebih banyak ...” jawab saya bertahan.
“Tapi, kompromi beliau itu justru akan mengorbankan lebih banyak korban lagi,” teman lainnya yang sedari tadi diam menimpali.
“Dengan kompromi reformasi ditelikung!,” sergap teman lain lagi.
“Aku juga mengkhawatirkan jika RUU ini titipan asing. Semoga ini juga beliau pahami,” Hasbullah menambah pasokan analisis
“Asing? Amerika maksudmu?” Tanya saya
“Ya”
“Tujuannya?”