Menghidupkan Kata*
Alamsyah M. Dja’far**
Terus terang dunia sastra dunia yang betul-betul baru saya nikmati sejak beberapa tahun belakangan, terutama setelah menulis novel perdana saya pada 2010: Lelaki Laut. Saya sadar melahirkan karya sastra yang baik tak mudah. Butuh keuletan, kepekaan bahasa, kejelian membaca kenyataan sosial, keluasan bacaan, dan permenungan mendalam. Makanya saya menaruh hormat pada mereka-mereka yang mampu menyuguhkan keindahan bahasa dan kedalaman maknanya lewat kata. Mereka “tangan tuhan” yang menjawil hati manusia.
Setelah menulis Lelaki Laut dan mendapat banyak komentar sekaligus masukan, saya mulai agak sering membaca karya-karya sastra. Kadangkala ini jadi hiburan tersendiri lari dari kepenatan pekerjaan dan kebosanan membaca literatur-literatur “ilmiah-akademis”. Saya menyadari sepenuh-penuhnya, menulis karya sastra yang baik seperti novel, cerpen, atau puisi, sama saja dengan menulis karya ilmiah-akadamis seperti skripsi, tesis, atau disertasi. Yang berbeda pada metode dan pengungkapannya.
Bagi saya –dan jutaan orang di jagat raya ini saya kira-- penulis andal adalah mereka yang mampu menyulap kata jadi mata, telinga, lidah, atau perasaan pembacanya. Dengan kata, pembaca betul-betul diajak melihat sesuatu, mendengar bunyi, merasakan aneka rasa dan getaran emosi jiwa. Kata, seperti kamera, adalah sebuah indera yang membidik objek dengan jeli.
Lihat saja saat Anton Pavlovich Chekhov yang mendeskripsikan alias menggambarkan sosok Maksim Kuzmich Slyutov dalam “Perempuan Tanpa Prasangka” di Pengakuan (2004). Pria berewokan berpipi gembil, raja cerita pendek Rusia akhir abad ke-19, ini menggambarkan Maksim seperti berikut:
“Maksim Kuzmich Slyutov bertubuh jangkung, berdada bidang, pejal. Resam tubuhnya, tanpa keraguan, dapat kita namakan atletis. Tenaganya luar biasa. Ia dapat melipat mata uang logam dua puluh kopek, mencabut pohon-pohon muda bersama akarnya, serta mengangkat barbel dengan giginya dan menurunkannya lagi, sehingga di dunia ini tak ada yang berani adu kekuatan dengannya. Ia berani dan gagah. Belum pernah ada yang melihatnya takut akan sesuatu.”
Atau peggambaran sastrawan berewok dan berambut grondong, Seno Gumira Ajidarma, dalam kalimat pembuka di “Senja Emas”.
“Cahaya senja yang keemasan jatuh di atas kertas. Aku sedang menulis surat –isinya akan kuceritakan nanti. Kupandang dinding-dinding ruangan, semuanya berwarna emas. Kuputar kursiku ke belakang, kutatap senja keemasan yang cahayanya telah menyepuh dinding-dinding kaca gedung-gedung bertingkat itu menjadi emas”
Saya menyukai gaya konyol Misbach Yusa Biran, sutradara film, penulis skenario film, drama, cerpen, kolumnis dan sastrawan Indonesia sekaligus pelopor dokumentasi film Indonesia, dalam “Keajaiban Pasar Senin”. Judul cerpen itu dipungut untuk jadi judul kumpulan cerpennya yang kembali diterbitkan pada 2008. Ketika meninggal 11 April lalu, saya bacakan Fatihah untuk pendiri Sinematek ini.
“Rupanya kawan ini telah dilahirkan ke dunia untuk jadi seniman. Potongan badannya, rambut, jenggot, dan segalanya betul-betul potongan “seni”. Seperti inilah gambaran yang biasa dilukiskan orang tentang seniman dalamcerita-cerita roman atau film. Badannya lampai, mata cekung, rambutnya tipis dan panjang dibiarkan saja menjalar ke sana kemari, setiap yang terpandang olehnya seolah-olah hendak ditelaahnya belaka. Begitulah Asmar yang malam ini saya lihat ….”
Sebagai penulis pemula, kadang-kadang kita amat berhasrat menggambarkan banyak hal agar pembaca betul-betul terjelaskan. “Sebenarnya tak perlu,” kata penulis dan dosen penulisan fiksi Cincinnati, Amerika Serikat, Josip Novakovich dalam Fiction Writer’s Workshop –Berguru kepada Sastrawan Dunia (2003) dalam versi Indonesia. Sebetulnya, kata Novakovich, kita cukup menulis daftar aspek penting mana saja dari sebuah citra, setelah itu andalkan kata untuk menampilkannya.
Penggambaran tiga sastrawan di atas sengaja dipilih demi menopang tema dan tokoh utama yang hendak dikisahkan pada pembaca. Karena itu penggambarannya tak dibuat ngalor-ngidul. Yang menarik dan penting saja.
Maksim yang digambarkan Chekhov sebagai manusia terkuat dunia justru di akhir kisahkan akan ditutup dengan kenyataan betapa Maksim hanyalah seorang lelaki yang mengkerut seperti karet gelang dimakan api ketika berjuang untuk mengutarakan kepada isterinya sebuah rahasia hidup yang memalukan dan tak terampuni: pernah jadi badut. Penjelasan latar belakang keluarga dan kemiskinan Maksim, misalnya, tak penting diomong di sini. Begitupun dengan penggambaran dua sastrawan di atas. Seperti koki, mereka bertiga menabur garam dengan pas.
Penggambaran yang kurang baik biasanya lantaran terlalu mengandalkan kata sifat. Menulis “ia marah” tentu gampang. Tapi kata itu tak punya pesan kuat dan memberi imajinasi liar pembaca. Melukiskan kemarahan seseorang dengan “napasnya memburu, mukanya memerah seperti kepiting rebus” mungkin jauh lebih berguna.
Kalimat “tenaganya luar biasa” Chekhov, mungkin tak akan begitu bernilai manakala tak didahului dan dilanjutkan dengan “pembuktiannya” akan kekuatan Maksim. “Ia dapat melipat mata uang logam dua puluh kopek, mencabut pohon-pohon muda bersama akarnya, serta mengangkat barbel dengan giginya dan menurunkannya lagi, sehingga di dunia ini tak ada yang berani adu kekuatan dengannya,” adalah strategi bagaimana Chekhov menunjukan sesuatu, bukan memonisnya. “Potongan ‘seni’” yang dibilang Misbach juga tak sama bernilainya ketika ia tak menunjukan penampilan bagaimana “nyeninya” Amsar.
Dalam menggambarkan sesuatu, Novakovich dalam bukunya yang saya sebut tadi berbaik hati berbagi kiat. Salah satunya dengan “meminjam”penjelasan latar (setting) dan tokoh untuk menunjukan suasana hati dan jiwa. Misalnya penggambaran berikut :
“Dari lubang-lubang yang penuh air itu berlompatan kodok abu-abu seperti debaran jantung yang telah meninggalkan tubuh para tentara yang ikut berperang dan yang sekarang berkeliaran di alam kematian itu. Ivan merasakan lompatan kodok dari permukaan tanah itu mengganggunya”
Strategi lainnya lagi, membiarkan pembaca berimajinasi ihwal kejadian sesuatu. Sementara penulis sekadar menunjukan “sisa-sisa”nya dan tak menjelaskan peristiwa sesungguhnya.
“Tentu saja meja itu sudah terbalik, dan semua kartu berserakan di lantai; sepatu bot menginjak-injak gambar para raja dan ratu yang gendut ketika dengan mata yang bodoh mereka memandang perkelahian yang sedang berlangsung di atas mereka”.
Memilih Diksi
Dalam bahasa latin, diksi berasal dari kata dictionem, sebuah perkataan, ekspresi, atau kata. Kata Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diksi adalah pilihan kata yang tepat dan selaras dalam penggunaannya untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu seperti yang diharapkan.
Kemampuan memilih diksi ini juga memerlukan “jam terbang”, latihan, kepekaan bahasa, dan kreativitas. Penulis dan sastrawan andal juga terus bergelut dengan penggunaan ini. “Bahasa sudah saya akrabi, tapi belum saya taklukan,” keluh Acep Zamzam Noor, penyair dan pelukis asal Tasikmalaya, suatu ketika.“Seorang penyair yang baik,” lanjut putera KH. Ilyas Ruhiat, tokoh Nahdlatul Ulama dan pemimpin Pondok Pesantren Cipasung itu, “harus bisa menaklukan bahasa.” Saya merinding membaca puisi “Cipasung”-nya (1987).
Di lengkung alis matamu sawah-sawah menguning
Seperti rambutku padi-padi semakin merundukan diri
Dengan ketam kupanen terus kesabaran hatimu
Cangkulku iman dan sajadahku lumpur yang kental
Langit yang menguji ibadahku meneteskan cahaya redup
Dan surauku terbakar kesunyian yang dinyalakan rindu
Kata “lengkung alis mata”, “merundukan” “cangkulku iman” “sajadahku lumpur” bagi saya pilihan yang sublim, cerdas, dan menggetarkan jiwa.
Masih di “Senja Emas”, Seno misalnya memilih diksi yang menurut saya jeli: “Matahari tiba-tiba melorot di celah gedung-gedung itu”. Kata “turun”, misalnya, jelas tak bermagnet sekuat “melorot”. Atau Sutardji Calzoum Bahri dalam “Hujan” di Hujan Menulis Ayam (2001) menulis begini.
“Hujan menggelitik pepohonan di halaman, membasuh dahan, menggertap di atap, dan membangunkan Ayesha, gadis enam belas tahun yang tadinya nyenyak lelap di kamar.”
Kawan saya Abdullah Alawi yang cerpen-cerpennya serenyah rempenyek menulis “lamat-lamat kudengar syair itu. Benakku langsung hinggap difilm Badai di Awal Bahagia.” Diksi hinggap, kreatif. Itu ditulisnya dalam “Bang Haji Menahanku Pulang untuk Bang Alamsyah”. Kalimat terakhir, saya kira, kalimat yang tak kalah “kreatifnya”. Hmmm.
Untuk sampai tahap menaklukan bahasa tentu saja kita mesti memahami bahasa Indonesia. Kita perlu banyak membaca KBBI dantesaurus-nya, buku rujukan berupa daftar kata dengan sinonimnya. Percayalah bahasa Indonesia ini kaya raya, dan kita seringkali memiskinkannya lantaran malas membaca dan lebih suka menggunakan bahasa asing di waktu dan tempat yang tak tepat. Kata membaca punya sinonim merapal; tobat dengan insaf, jera, kapok, atau sadar; padam dengan lindap; habis tak berbekas dengan lingkap bisa juga timpas; tajam dengan cerucup, rancap, atau rancung. Selebihnya, baca sendiri! Ini sebetulnya kisah pertobatan saya. Seorang guru bahasa Indonesia menyentil Lelaki Laut yang katanya banyak menggunakan bahasa “ilmiah”.
Perlu juga dicatat, jangan lantaran hasrat membuat diksi indah, anda “berlebayan” memanfaatkannya. Novakovich misalnya mengkritik penggunaan beberapa diksi dalam penggambaran berikut. “Angin bulan Januari menyerang Jaguar yang sudah panas itu; anak kecil itu bersin saat bertempur untuk meraih kebebasan. Kata bertempur menurut Novakovichterlalu “lebay” hanya untuk menggambarkan seorang anak yang keluar dari mobil. Begitu juga kata menyerang untuk udara yang berembus masuk ke dalam mobil.
Acep, misalnya, mengaku pernah mendapat kritik dari Saini K.M., sastrawan asal Sumedang yang pernah jadi redaktur kebudayaan Harapan Rakyat (1967-1969). Katanya, di beberapa puisi-puisi Acep, ada beberapa kata yang dinilainya agak “ambisius” dan kadang mengaburkan. Misalnya pipi langit, ketiak kota, matahari pingsan, bangkai jam.
Melempar Metafora
Menurut KBBI, metafora berarti pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan. Dalam bahasa Yunani, methapor berarti “transport’. Ia membawa satu tempat ke tempat lain; satu makna ke makna lain. Dengan metafora, makna menjadi lebih indah, lincah, dan menantang imajinasi pembaca.
Saya setuju omongan Ahmad Makki, seorang kawan yang menggilai tokoh esais Indonesia Mahbub Djunaidi melebihi kekasihnya sendiri. Bagi mantan aktivis Koin Sastra Pusat Dokumentasi HB Jassin yang sama-sama Betawinya ini, Mahbub adalah “penyihir kata-kata”. Makki mendaftar sejumlah metafora dalam esai-esai Mahbub yang menurutnya “bukan alang-kepalang mengejutkannya”. Dan saya setuju.
-Futurolog itu…semacam dukun juga, tapi keluaran sekolahan
- Anak-anak saya…patuh sepatuh-patuhnya bagaikan anak anjing ras
- Sedangkan masuk kamar mandi saja ada risiko terpelanting, apalagi jadi bendaharawan
- Tidak sedikit orang beli koran dan langsung membaca iklan-iklan kematian, mencari tahu umur berapakah orang yang meninggal itu, sekadar membanding-bandingkan dengan umurnya sendiri
-Maka dari itu, nyonya sehat bagaikan ikan bandeng
- Yoga, melipat badan berlama-lama seperti kelelawar
-Pemerintah mana saja tidak suka penduduknya cerewet seperti sekandang burung parkit
- Abdurrahman Wahid…bertubuh gempal, ibarat jambu kelutuk yang ranum…punya kebolehan humor yang mengejutkan, seakan-akan dia jambret begitu saja dari laci
Sebab bahasa terus berkembang, metafora juga butuh kreativitas. Di sinilah penulis dituntut memiliki kepekaan dalam melihat kehidupan dan kenyataan di sekitarnya.
Metafora jelas akan berhasil ketika ia betul-betul dekat dengan kehidupan pembaca. Karena merasakan, saya menyukai metafora Andrea Hirata di Laskar Pelangi ketika mendeskripsikan bau toko orang tua Aling: “toko yang tadi berbau busuk memusingkan sekarang menjadi harum semerbak seperti minyak kesturi dalam botol liliput yang dijual pria-pria berjanggut lebat seusai shalat Jumat.” Jika pembaca tak pernah merasakan, metafora mungkin tak membetot rasa.
Metafora sering pula amat subjektif. Bagi sebagian orang, metafora tertentu tak begitu berhasil mengaduk-aduk emosi, tapi tidak bagi lainnya. Ini bergantung pada pengalaman dan imajinasi masing-masing pembaca. Mungkin bagi sebagian orang, syair-syair indah dalam Pendidikan Para Pencari Ilmu (Ta’lim al-Muta’allim) karangan Burhan al-Islam al-Zarnuji misalnya, tak begitu kuat dirasakan. Namun bagi santri-santri yang hidup di pesantren dengan pernak-perniknya, syair yang dirangkai abad ke-12 ini bisa membuat mabuk kepayang:
Al-Jâhilûna mautâ qabla mautihim //Wa al-`âlimûna wa in mâtû fa ahyâ’u//
Yang debil mati sebelum kematiannya//Yang berilmu manakala mati ia hidup//
Dengan berlatih terus menerus seorang penulis bisa merasakan mana metafora yang unik dan tak disangka-sangka. Pelan-pelan mereka meninggalkan metafora lawas dan pasaran dipakai orang. Dengar saja metaforaini: berhati emas, tekad baja, pahlawan tanpa tanda jasa, seputih salju. Membosankan bukan?
Akhirnya, tak ada yang bisa kita lakukan untuk menjadi penulis andal tanpa latihan, membiasakan diri, bermenung dalam-dalam, atau sabar “memerhatikan” orang lain menulis. Saya ingat betul bocah-bocah kecil di pulau kami tak pernah diberi teori aneh-aneh berenang. Ajaibnya secara “alamiah” mereka mampu “ngambang” di laut. Saya kira itu lantaran mereka memang “mentradisikan” mandi laut dan seringnya melihat orang-lain berenang. Teori berenang “hanya” berguna agar mereka cepat bisa dalam berenang dan punya teknik agak modern. Jadi, selamat berenang!
Amir Hamzah, 2 Juli 2012
* Ditulis untuk “Workshop Fotografi & Bengkel Cerpen Nida (BCN).” Pulau Tidung, Sabtu 7 Juli 2012
** Penulis Lelaki Laut (Gremedia, Desember 2010), kelahiran Pulau Tidung, Kepulauan Seribu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H