Mohon tunggu...
Alamsyah M. Djafar
Alamsyah M. Djafar Mohon Tunggu... -

Menulislah hingga masa dimana kita tak bisa lagi menulis. http://alamsyahdjafar.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kapal Tradisional Pulau Seribu, Riwayatmu Kini

2 Maret 2012   07:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:38 1318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13306750461212930922

Beberapa waktu lalu, pemilik dan anak buah kapal tradisional Pulau Seribu-Jakarta mogok beroperasi sebagai bentuk protes. Demonstrasi rencananya juga digelar ketika Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo meresmikan listrik kabel bawah laut di Pulau Panggang, Rabu (22/2). Atas masukan beberapa pihak, aksi urung dilakukan. Mereka memilih jalan dialog. Meski sempat dilarang menyandar di pelabuhan, perwakilan mereka berhasil menyampaikan aspirasi kepada orang nomor satu di DKI itu. Salah satu tuntutannya: tarif tiket Kapal Lumba-Lumba dan Kerapu dinaikan. Samanya tarif dengan harga tiket kapal tradisional, sedang fasilitas jauh berbeda jelas akan membuat mereka kalah bersaing. Mereka bertamsil, mirip angkutan kota biasa dengan taksi. Kapal Kerapu dan Lumba-Lumba milik pemerintah DKI Jakarta. Dikategorikan kapal cepat dengan fasilitasi memadai, kapal-kapal itu terbuat dari fiberglass dengan bangku-bangku empuk. Beberapa rute pulau dicapai dengan waktu setengah hingga sejam setengah. Tarif Kerapu dan Lumba Rp. 32 ribu plus asuransi. Operatornya, perusahaan yang ditunjuk Dinas Perhubungan.  Harga murah lantaran disubsidi beberapa kali lipat. Jika normal harganya di atas Rp. 100 ribu. Terbuat dari kayu, tak berbangku, kapal tradisional yang jumlahnya kini lebih dari 30 kapal, menempuh rata-rata sejam hingga dua jam setengah. Tarif kapal tradisional Rp. 33 ribu plus asuransi. Saat ini mendapat harga subsisi solar sebagai kapal nelayan. Merespon tuntutan itu, di salah satu media, Jumat (24/2), pihak pemerintah mengatakan, tuntutan kenaikan tarif Kerapu dan Lumba-Lumba kecil kemungkinan bisa direalisir. Begitupun tuntutan pembatasan jadual tarif. Alasannya, kapal-kapal itu adalah perintis penyebrangan Jakarta-Pulau Seribu. Dan para wisatawan sebagai konsumen kapal cepat ini butuh kepastian jadual. Dikatakan pula, kapal-kapal tradisional nantinya dijadikan kapal penyebrangan antarpulau. Tampaknya istilah “perintis” itu mengacu UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Pasal 1 ayat 8 mendefinisikan, “pelayaran perintis” sebagai “pelayanan angkutan di perairan pada trayek-trayek yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk melayani daerah atau wilayah yang belum atau tidak terlayani oleh angkutan perairan karena belum memberikan manfaat komersial”. Secara khusus, ini dibicarakan di Bagian Kelima tentang “Angkutan di Perairan untuk Daerah Masih Tertinggal dan/atau Wilayah Terpencil”. Pasal 24 ayat (1) menyebut,  pelaksanaan pelayaran perintis menjadi kewajiban pemerintah atau pemerintah daerah. Pemerintahlah yang membiayai. Soal tarif kapal Kerapu dan Lumba-Lumba sendiri acuannya Perda DKI Nomor 1 Tahun 2006 tentang Retribusi Daerah. Pasal 139 menetapkan “tarif retribusi penumpang kapal” dalam tiga kategori: jarak 0 sampai dengan 20 mil (P. Bidadari, P. Untung Jawa, P. Pari dan P. Lancang) Rp. 25 ribu perorang; jarak 20 sampai dengan 35 mil (P. Payung, P. Tidung, P. Pramuka, P. Kelapa, dan Resort-Resort) Rp.30 ribu perorang; dan jarak di atas 35 mil (P. Sebira) Rp 50 ribu orang. Di samping itu, pasal ini mengatur tarif retribusi penumpang “kapal reguler” yang juga dibagi dalam tiga zona: Jakarta - Pulau Pramuka/Kelapa Rp. 11.5oo perorang; Jakarta-Pulau Tidung Rp. 9 ribu perorang; dan Jakarta - Pulau Untung Jawa Rp. 6.500  perorang. Masalah tarif ini sesungguhnya hanya salah satu isu dari peta besar problem transportasi  dari dan menuju Pulau Seribu. Problem lainnya adalah kelemahan yang diidap kapal tradisional, mulai dari pemenuhan administrasi kelaikan kapal, hingga penetapan tarif, dan kritikan diskriminasi layanan terhadap wisatawan dan warga Pulau Seribu. Namun begitu, sejumlah kelemahan itu tak dapat menutupi kontribusi besar mereka. Sejak saya kecil di Pulau Tidung, kapal tradisionalah transportasi utama pulau-Jakarta, bahkan di saat pemerintah tak mampu menyediakannya. Usaha ini juga ikut berkontribusi mendongkrak aktivitas wisata di Kepulauan Seribu. Dengan kenyataan ini, sudah sepatutnya mereka diberi ruang partisipasi dan kontribusi dalam mengembangkan dan mengelola transportasi Pulau Seribu-Jakarta, termasuk rencana pengembangan pengelolaan pelayaran perintis itu. Jika tidak, bukan tak mungkin muncul berkembang kesan, pelan pelan mereka “disingkirkan”. Ini misalnya muncul ketika Dinas Perhubungan menganggarkan 50 milyar untuk membeli dua kapal berkapasitas 200 orang dan melayani rute Jakarta-Pulau Seribu. Filosofi bahwa dengan dasar “pelayaran perintis” sehingga sulit menaikan tarif dan mengurangi jadual Kapal Cepat, juga menjadi bagian lain dari peta problem yang perlu didiskusikan lebih lanjut, dengan beberapa alasan. Pertama, benarkah Pulau Seribu sekarang ini masih dikategorikan “wilayah yang belum atau tak terlayani angkutan perairan karena belum memberikan manfaat komersial sebagaimana ketentuan adanya kapal perintis”. Bukankah kenyataannya akses Jakarta-Pulau Seribu kini terbuka luas, salah satunya dengan kehadiran kapal-kapal tradisional itu, bahkan sebelum kehadiran “kapal cepat”. Kedua, situasi saat perda diketuk enam tahun lalu, jelas berbeda dengan sekarang. Dulu, kehadiran kapal cepat itu, seperti banyak dinyatakan pihak pemerintah, justru demi memenuhi kebutuhan warga masyarakat Kepulauan Seribu. Sekarang, penikmat kapal cepat mayoritas wisatawan. Dari sisi ekonomi, segmen wisatawan ini tentu bukanlah target yang tepat mendapat subsidi berkali-kali lipat itu. Faktor-faktor harga yang mempengaruhi tarif itu juga berubah. Soal lain lagi adalah terkait eksistensi “kapal reguler” yang tarifnya dipatok Perda antara Rp. 6.500 – Rp. 11.5oo itu. Seperti tarif untuk kapal cepat, angka tersebut kemungkinan besar angka subsidi. Soal ini, banyak pihak luput membicarakannya. Pertanyaannya, apa yang dimaksud  kapal regular? Apakah itu kapal tradisional? Jika ya, mengapa harganya tak sesuai patokan Perda? Jika bukan, lantas dimana kehadiran “kapal reguler” itu? Jika kapal “reguler itu” benar-benar belum beroperasi, tidakah pemerintah abai menyediakan layanan publik ini? Di luar peta masalah itu, sepertinya perlu dipikirkan beberapa hal berikut sebagai tawaran penyelesaian. Pertama, perlunya cetak biru (bluepint) pengelolaan transportasi laut Jakarta Pulau Seribu yang disusun atas partisipasi seluruh pemangku kepentingan. Kedua, sebagai jalan kompromi dan terdekat, perlu dilakukan pengaturan jadual Kerapu, Lumba-Lumba, dan kapal tradisional. Ketiga, kapal tradisional juga harus bertransformasi diri dengan memenuhi administrasi perizinan dan kelaikan. Di antara bentuk transformasi itu berhimpun dalam payung koprasi. Semoga catatan ini bermanfaat [] foto: pulauseribu.net

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun