Alamsyah M. Dja’far
Novel setebal 194 halaman ini sengaja saya tulis untuk merekam ingatan dan kenangan tentang tokoh utamnya: Ahmad Jarkasyi. Apa yang tersaji di dalamnya diinspirasi oleh perjalanan hidup lelaki yang akrab dipanggil Bang Jar itu. Ia kakak lelaki saya. Karena serangan jantung akibat kelelahan menyelesaikan tugas kuliah, ia mati muda. Usianya baru 33 tahun. Meninggalkan seorang isteri dan dua anak yang masih kecil. Jarkasyi meninggal 30 oktober 2009. Saya mengirimkan naskah novel ini ke penerbit pada 9 Mei 2009. Selama rentang itu saya menulis.
Ada beberapa hal yang ingin saya bagi di novel itu. Pertama, nilai kesungguhan untuk berubah. “Seseorang tak bisa dua kali masuk ke sungai yang sama,” begitu kata Herakleitos, filosof dari abad ke-5 SM. Maksudnya, perubahan itu adalah sesuatu yang alamiah dan manusia pada dasarnya berubah dari satu keadaan ke keadaan lainnya. Seberapapun kelamnya hidup seorang, selalu saja ada niat dan harapan untuk berubah. Berubah tak selalu dari buruk ke baik, tapi sebaliknya. Kata sastrawan asal Semarang AS Laksana, tokoh yang menarik adalah tokoh yang berada di antara. Tidak baik sepenuhnya, tidak jahat sepenuhnya. Di tengah kejahatannya, ada sisi baiknya. Di tengah sisi baiknya ada ruang kelemahannya. Saran itu diberikan saat AS laksana menjadi salah pembicara saat bedah novel ini.
Dan saya lalu berupaya menggambarkan perubahan itu. Saya menampilkan cerita bagaimana sosok Jarkasyi yang mulanya “lurus” lalu berubah menjadi liar dan akhirnya terjebak pada narkoba. Dan setelah itu berubah menjadi ayah yang bertanggung jawab dan pencari ilmu yang giat. Setelah itu, meninggal.
Kedua, pentingnya pendidikan bagi orang yang tertinggal. Meski kadang-kadang tak adil, pendidikan formal di negeri ini memang perlu. Ia alat melakukan mobilitas vertikal. “Kita tak mungkin duduk setara dengan orang-orang hebat kalau kita, misalnya, tak jadi sarjana”. Ini dialog yang saya tulis di halaman 162 alinea ketiga. Tak heran, orang pintar selalu dianggap orang yang makan bangku pendidikan. Yang tak sekolah, tak pintar. Setelah lulus sekolah, Bang Jar tak ingin kuliah. Bagi dia, menjadi nelayan muroami, profesi umum masyarakat pulau Tidung, lebih berkelas ketimbang kuliah. Setelah berkeluarga dan tanggungan ekonomi yang bertambah, barulah dia kuliah. Dan persoalan muroami juga saya pakai untuk menjelaskan konteks kehidupan nelayan pulau seribu yang menjadi setting sebagian cerita Lelaki Laut. Kisah budaya nonton layar tancap yang “partisipatif” di bab Refli itu juga saya sajikan untuk memperkuat bayangan pembaca akan kultur masyarakat pesisir.
Ketiga, relasi kakak-adik. Di novel ini saya juga hendak menampilkan peristiwa yang menjelaskan hubungan kakak-adik yang kental. Beberapa konflik terkait ini saya munculkan. Salah satunya di bab Nepotisme. Bang jar yang waktu itu sebagai bagian umum, sementara tokoh aku menjadi pemimpin umum sebuah perusahaan media jelas menjadi konflik batin tersendiri. Dan itu saya gambarkan dengan peristiwa Bang Jar yang membawakan kopi ke hadapan si aku dengan cara membungkuk-bungkuk. Dan si aku lalu membayangkan kisah di sinetron di mana si anak majikan mendepak pembantunya dengan kasar. Kisah lainnya tentang Bang Jar yang menggendong si aku sejauh 500 meter saat pulang mancing. Kekentalan ini ingin saya pakai untuk sampai pada klimak meninggalnya tokoh Bang Jar.
Keempat, saya setuju dengan nasihat bang Rhoma dalam lagunya: Begadang. Dan karena itu saya teruskan nasihat untuk anda dan orang-orang yang anda cintai. Lagu itu menyiratkan pesan penting agar kita mhenjaghaa kesheehatanhhhh!!!. Bang Jar tak patuh nasihat ini. Saking semanganya menyelesaikan tugas akhir kuliahnya, ia begadang dan melupakan kesehatan. Kopi menemani malam-malamnya saat begadang, hingga akhirnya fisiknya tak cukup kuat lagi bertahan.
Terus terang, saya bukan penyuka buku-buku sastra yang baik. Saya membaca beberapa saja yang menurut saya menarik. Pernah membaca Jalan Menikungnya Umar Kayam, Gadis Pantai Pram. Saya juga terpikat dengan tetraloginya Andrea Hirata. Dan mungkin pembaca merasakan rasa Andrea di dalamnya. Saya senang membaca Keajaiban di Pasar Senin-nya Misbah Yusa Biran atau Ronggeng Dukuh Paruk-nya Ahmad Thohari.
Dengan mengatakan itu, saya hendak menjalankan “pengakuan dosa”, bahwa tentu saja masih banyak tekhnik-tekhnik yang mungkin tak perlu dan kurang maksimal dipakai dalam menulis Lelaki Luat. Setelah saya baca lagi, saya jadi kepikiran semestinya saya mesti “mengulur waktu” untuk menjaga suspensi pembaca ketika menceritakan bagaimana Bang Jar meninggal. Meski di awal saya sudah memberi informasi bahwa tokoh itu nantinya akan meninggal, tapi dengan melakukan tekhnik mengulur waktu dan penahapan konflik hingga klimaks, mungkin ceritanya akan lebih dramatis.
Saya memang berniat agar novel ini juga berisi hal-hal yang mungkin bermanfaat menambah informasi. Karena itu saya mendeskripsikan istilah-istilah ilmiah dari ikan dan karang-karang di laut Pulau Seribu, menyuguhkan informasi bagaimana sebuah media bekerja, atau bagaimana membuat proposal pendirian taman baca. Tapi dengan tekhnik lain, menyelipkannya dalam dialog misalnya, atau tekhnik-tekhnik yang mungkin anda punyai, deskripsi itu mungkin akan lebih hidup.
Akhirnya, saya hanya menulis dan andalah pembacanya. Saat membaca, saya sebetulnya “mati”.