Mohon tunggu...
Alamsyah M. Djafar
Alamsyah M. Djafar Mohon Tunggu... -

Menulislah hingga masa dimana kita tak bisa lagi menulis. http://alamsyahdjafar.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ke Dalam, Bukan Keluar; Catatan Ramadhan

10 November 2011   18:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:49 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai bulan agung, Ramadhan memang menyimpan banyak keistimewaan. Demi menunjukan keistimewaannya, sebuah hadis menjelaskan secara metaforik: seseorang yang gembira dengan datangnya Ramadhan, Allah haramkan jasadnya dijilat Neraka. Ramadhan juga menyimpan sebuah malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan: Lailatul Qadar. Saking istimewanya, Nabi bersabda: seandainya umatku mengetahui yang dikandung Ramadhan, niscaya mereka mengharap seluruh bulan menjadi Ramadhan.

Untuk menyambut datangnya Ramadhan, bangsa Arab biasa menyebut “marhaban ya Ramadhan,” bukan “ahlan wa sahlan ya Ramadhan”. Menurut M. Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Quran (2000), pilihan diksi hendak menunjukkan keistimewaan bulan tersebut.

Kata “marhaban” dan “ahlan wa sahlan” maknanya kurang lebih sama: selamat datang. Tapi, punya “rasa” dan penempatan yang berbeda. “Marhaban” berasal dari kata “rahiba”, “yarhabu”, “rahaban” berarti, lapang, luas, lebar. Ini menggambarkan makna kedatanganya mesti disambut dengan lapang dada, penuh kegembiraan, dan tak mengganggu ketenangan. Sedang kata “ahl” bermakna keluarga, dan “sahl” artinya mudah, bisa pula berarti “dataran rendah”. Kata ahlan wasahlan ini biasa dipakai saat menyambut tamu.

Atas doktrin penghormatan ini, Ramadhan yang berasal dari kata “ramida” berarti panas menyengat, ini begitu dimuliakan dengan rupa-rupa cara oleh umat Islam. Sebagiannya bahkan justru tampak berlebihan. Beberapa waktu lalu, sebuah ormas keagamaan bahkan meminta Presiden meneken Keputusan Presiden untuk menegaskan kemuliaan Ramadhan.

Dengan alasan penghormatan itu pula, masyarakat, Islam maupun non-Islam, diminta tak vulgar berjualan dan makan di sembarang tempatseperti biasanya di bulan lain. Bahkanada kebijakan kepala daerah yang akan memecat anak buahnya jika kedapatan makan siang hari di tempat umum. Setiap Ramadhan tiba, sejumlah tempat hiburan wajib tutup. Intinya, agar Ramadhan tetap mulia, dibuat sedemikian rupa agar Ramadhan bersih dari situasi yang bisa mengotori kesucian.

Bagi para politisi, Ramadhan adalah momen tepat memajang sebanyak mungkin spanduk ucapan selamat berpuasa. Ajang mendongkrak rating dan meningkatkan pendapatan iklan untuk para pemilik stasiun televisi dan peningkatan pendapatan tahunan karena harga-harga melambung bagi para pedagang sembako. Di media jejaring sosial, kitapun menyaksikan betapa Ramadhan membuat banyak orang mendadak religius.

Ironisnya, bagi sebagian orang Ramadhan justu membawa kecemasan tersendiri, boleh jadi trauma, lantaran aksi sweeping baik oleh kelompok keagamaaan tertentu atau aparat negara.

Gembira dan menghormati Ramadhan memang anjuran Islam. Tapi, sikap berlebih-lebihan dalam penghormatan juga dilarang. Sikap berlebih-lebihan ini justru hanya akan menjauhkan orang yang berpuasa dari tujuan pokoknya.

Puasa adalah sebentuk aktivitas ibadah yang sifatnya personal, berkait erat dengan relasi seseorang dengan tuhan. Targetnya, perubahan kedalam diri. Al-Quran menyebut untuk membentuk pribadi bertakwa. Hasilnya barulah individu-individu yang akan mengubah keluar. Bukan sebaliknya keluar, lalu ke dalam. Objek yang dituju adalah pribadi-pribadi yang sanggup, tidak objek di luar pribadi-pribadi tersebut.

Ada banyak argumen keagamaan memperkuat kesimpulan ini. Misalnya, sebuah hadis qudsi yang populer itu: puasa untuk-Ku dan Aku yang memberi ganjaran. Ini menunjukan puasaperkara amat intim dan personal dengan tuhan.

Anjuran beriktikaf, berdiam diri di masjid, sebagai ibadah yang bernilai tambah selama Ramadhan juga menunjukan betapa sasaran puasa adalah refleksi diri kedalam agar setiap individu muslim merenungi dan menimbang-nimbang diri apa yang sudah dilakukan untuk kehidupan yang lebih baik. Tradisi reflektif itu pula yang selalu dilakukan kakek Nabi, Abdul Muthalib, selama Ramadhan yang pergi ke gua Hira untuk berkhalwat.

Demikian pula dengan konsep Lailatul Qadar. Beberapa hadis memang menjelaskan beberapa ciri malam mulia ini. Misalnya digambarkan sebagai malam yang cerah, tak panas, tak dingin. Saat mentari terbit, sinarnya cerah. Tapi, sekali lagi, tak pernah ada yang bisa memastikan kapan datangnya dan bagaimana persisnya malam mulia itu.

Karena sifat ke dalam ini tak heran puasa Ramadhan selalu menyediakan kemudahan dan keringanan, bergantung pada standar kemampuan pribadi-pribadi. Orang-orang sakit, dalam perjalanan, atau mereka yang merasa berat, dibolehkan tak berpuasa. Kelompok yang disebut terakhir itu biasanya merujuk pada orang-orang jompo atau mereka yang punya pekerjaan amat berat semisal tukang batu. Sebuah pendapat bahkan mengatakan, mereka yang merasa berat puasa lantaran alasan tak biasa juga termasuk kategori merasa berat. Mungkin di sini pula hikmah ayat puasa yang sengaja ditutup dengan kalimat, Allah menghendaki kemudahan (yusr) untuk kamu, bukan kesulitan (`usr).

Pada akhirnya sikap berlebih-lebihan ini juga dapat menjebak umat Islam sekadar memaknai Ramadhan sebagai seremoni. Pada seremoni, kita sering disuguhkan pada hingar bingarnya seperti bocah yang senang bukan kepalang dengan balon-balon, makanan, dan banyak teman yang datang di hari ulang tahun, padahal ia tak tahu maksud perayaan tersebut. Bukan pada subtansi dan kemendalaman makna sebagaimana kita merasakan kesedihan saat datang melayat. Umat disibukkan memikirkan bagaimana orang lain menghormati Ramadhan –bahkan dengan cara-cara kekerasan—dan syiarnya dipertontonkan seluas-luasnya melalui beragam media. Tapi,mereka lupa bahwa Ramadhan adalah momentum refleksi diri kedalam untuk menjadi manusia baru di bulan-bulan berikutnya. Sebab tujuan puasa sekali lagi merubah ke dalam, bukan keluar.

Jika dampak sikap berlebih-lebihan atas ramadhan ini betul terjadi, boleh jadi sindiran hadis yang banyak didengung-dengungkan ini bukan omong kosong: acapkali mereka hanya dapat lapar dalam puasanya, dan sekedar melek malam (sahar) bagi mereka yang katanya membangun malam-malam Ramadhan []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun