Ini yang saya kagumi dari Gus Dur. "Ia orang yang pandai menyenangkan kawan," kenangnya. Dua puluh tahunan silam. "Gus, saya keluar dari Depag!" "Kenapa?" "Di sana saya dimusuhi banyak orang. Saat ulang tahun Kompas ke-40, saya dan Kunto ngomong jika Pancasila ideologi terbuka. Lalu saya ditegur. Lama-lama, kelihatannya mereka tak suka. Jadi, saya harus keluar. Harus!" Kunto, maksudnya budayawan, sastrawan, dan sejarawan Indonesia asal Bantul Yogyakarta, Kuntowijoyo. "Sampeyan berarti satu di antara sekian juta orang Indonesia yang sudah gila" "Gila?" "Ya. Di republik ini tanda-tanda orang gila itu kalau orang keluar dari pegawai negeri dan tentara" Setelah keluar dari Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Agama (Litbang Depag) akhir tahun 80-an, lelaki yang mengadu kepada Gus Dur, sapaan akrab KH. Abdurrahman Wahid, itu akhirnya mendapat pekerjaan baru di Harian Pelita. Bak pepatah "jual sutera, beli masturi", dari Rp. 200 ribu perbulan di Depag, gaji di pekerjaan barunya itu melejit hingga Rp. 2.9 juta perbulan. Dari penghasilan itu ia sudah bisa membeli mobil baru: Toyota New Starlet. Bersyukur atas perubahan rizki, lelaki tadi kembali mengunjungi Gus Dur. "Ini saatnya saya mentraktir Abdurrahman Wahid?" katanya berlagak di depan Gus Dur. Tak lama setelah sesi "traktiran" itu, ternyata ia berkonflik dengan Abdul Gafur, Pemimpin Umum Harian Pelitaketika itu.Ujung-ujungnya ia dipecat mantan Menteri Negara Pemuda dan Olahraga era Orde Baru ini. Kembali ia datangi Gus Dur di gedung PBNU di Jalan Matraman untuk sekedar berkeluh kesah. "Gus, saya dikeluarkan dari Pelita?" Moeslim melanjutkan dengan kisah dibalik pemecetan. Gus Dur mendengar baik-baik dan berusaha empati. Usai Moeslim bercerita, Gus Dur bertanya. "Kalau kita bikin media berapa sih modalnya Kang?""Tiga Em lah?" "Tiga Em ! Sabar lah kang. Sekarang kalau bangsa Dua Em, kita ada lah?" Wajah Gus Dur serius. Meski sadar mungkin saja Gus Dur sedang berkata tak jujur soal uang "dua em" (dua milyar) itu, Moeslim tak marah. Ia ikhlas. "Ini yang saya kagumi dari Gus Dur. Ia orang yang pandai menyenangkan kawan," kenangnya. Lelaki itu tak lain Moeslim Abdurrahman, intelektual muslim Muhammadiyah, yang juga sahabat karib Gus Dur. Kisah di atas diceritakan lelaki kelahiran Lamongan itu dalam pertemuan rutin GUSDURian Jakarta, Jumat malam awal April (6/5). Kepada lebih dari 50-an orang yang hadir di ruang pertemuan the Wahid Institute, Jakarta Jalan Taman Amir Hamzah 8 Jakarta Pusat, lulusan antropologi University of Illinois, Urbana, Amerika Serikat itu bercerita panjang lebar seputar kenangannya bersama Gus Dur. Selain Kang Moeslim, panggilan akrabnya, malam itu juga hadir Benny Susetyo, tokoh Katolik yang juga berbagi kisah tentang mantan presiden ke-4 RI ini. Pada Februari 1976, pertama kali Moeslim bertemu muka dengan Gus Dur di sebuah forum seminar Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Leknas LIPI) di Gondangdia, Jakarta. Tapi dari sisi pemikiran, Moeslim sesungguhnya telah mengenal jauh sebelum itu lewat tulisan-tulisan Gus Dur yang bernas di sejumlah koran dan jurnal. Dalam forum yang mengangkat tema seputar agama dan perubahan sosial ini Moeslim akan menyampaikan hasil risetnya tentang Islam Jemaah di Kediri, kelompok yang juga dikenal sebagai Darul Hadis. Yang mempertemukannya pertama kali dengan Gus Dur adalah Nurcholish Madjid. Saat itu tokoh yang kelak mendirikan Yayasan Paramadina itu juga akan menyampaikan di hasil riset tentang Tarikat Naqsabandiyah Qadariyah di forum yang sama. Sedang Gus Dur tentang kelompok Wahidiyah. "Gus, ini orang Lamongan. Moeslim!" kata Cak Nur kepada Gus Dur saat rehat seminar. "Oh iki toh. Bakul iwak, iki! (Oh ini toh. bakul ikan ini)" kata Gus Dur berseloroh. Moeslim mesam-mesem. Bagi orang Jombang, tempat Gus Dur dilahirkan, Lamongan memang dikenal sebagai wilayah penyuplai ikan. Yang diingat Moeslim dari Gus Dur saat itu songkok hitam yang dipakainya agak tenggelam. Dan itulah memang cirikhas Gus Dur saat menghadiri seminar-seminar yang biasanya memukau peserta. "Di seminar-seminar dia selalu leading," kenang Moeslim. Dalam pertemuan perdana itu Moeslim mulanya heran sekaligus kagum. Kok ada orang dari pesantren tradisional bicara demokrasi dan hak asasi manusia. "Wong songkoknya saja tak meyakinkan," kata alumni Pesantren Raudlatul Ilmiyah Kertosono itu disambut gerr hadirin. Tapi, pada isu pesantren ini justru yang membuat Moeslim dan Gus Dur bertemu. Meski berasal dari model pesantren yang berbeda, Moeslim dari pesantren beraliran Wahabi -begitu dia menyebutnya-dan Gus Dur pesantren NU, Moeslim menyadari pesantren pada era 70-an itu merupakan lembaga pendidikan yang terpinggirkan dan tak dibicarakan orang. Para indonesianis dan pemikir-pemikir Indonesia saat itu tak banyak yang melirik dan mempelajari pesantren. Mereka lebih senang bicara gerakan modernisasi. Di masa-masa itulah Gus Dur muncul sebagai "pengeras suara" dan "penjual"pesantren yang cemerlang. "Sebagai penjual pesantren, ia berhasil". Suatu ketika Gus Dur pernah berkata pada Moeslim soal wacana yang dibawanya ini. "Kang kalau di depan orang-orang sepeti Herati (Guru Besar Filsafat UI, Toety Herati Noerhady) yang belajar filsafat beneran, atau Selo Soemardjan (sosiolog senior UI), Pak Kun (antropolog senior Koentjaraningrat) atau Taufik Abdullah (sejarawan dan budayawan) yang orang sekolahan, kita nggak usaha nyaiingin mereka. Kita bicara yang mereka nggak tahu," kata Gus Dur bak marketing handal. "Dalam soal pesantren ketika itu, Gus Dur tak ada saingan. Orang-orang butuh analisisnya," tambah Moeslim. [amdj] Bersambung Sumber: www.wahidinstitute.org | Jum'at, 13 Mei 2011 06:11 Foto : Witcak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H