Adegan itu mirip pertandingan pencak silat yang tak seimbang. Leher lelaki berjaket hitam itu diinjak paksa dengan lutut kiri. Lutut itu milik lelaki muda yang tenar dipanggil Ustadz Hariri. Ustadz yang namanya dilambungkan sebuah audisi televisi itu memang bukan sedang bertanding pencak silat. Ia sedang berceramah agama di hadapan ratusan orang. Ceramah lalu berubah ngomel-ngomel dan makian dalam bahasa Sunda. Klimaknya, pertandingan pencak silat tak seimbang tadi.
Orang marah dengan kelakuan Hariri. Rekaman adegan yang dipampang di youtube dibanjiri gelombang murka. Saya tak lagi sebut Ustad. Sebab, sebagian mereka yang marah, minta Hariri berabut gondrong tak disebut ustad. “Itu sih preman,” kata seseorang saat diwawancarai televisi. Saya setuju sebagian. Setuju untuk adegan ngomel-ngomel dan injakan leher.
Dunia dakwah di layar kaca memang sering berubah jadi bisnis dan industri. Ia seringkali ditopang citra saleh. Ini yang membuat mereka bertahan atau melorot. Dan saya menduga, setelah ini “karir”nya bakal wassalam, setidaknya jumlah panggilan melorot tajam. Ia mungkin akan muncul di layar kaca. Tidak sedang berceramah, tapi sedang “dikuliti” infotainment tentang kasusitu. Tak ada stasiun yang mau menampungnya lagi. Tak ada pengiklan yang menempelkan citra produknya dengan kegiatannya. Bikin runyam!
Sebagai bisnis dan industri, Hariri yang makin tenar –tentu sebelum ini—bakal dibarengi dengan kebutuhan yang terkerek. Harus ada biaya manajemen, kostum, dan biaya entertain lain. Seperti ustad-ustad muda televisi lain, kostum Hariri mirip model peragaan “busana islami”. Warna udeng-udeng dengan baju selalu senada. Mungkin itu persiapan peluncuran Hariri Collection.
Dengan beban makin tinggi, aktivitas ceramah ini mau tak mau harus “bertarif”. Tarif menunjukan kelas. Makin mahal, makin berkelas. Mungkin pula manajemennya selalu getol menasihati agar ingat, bukan hanya target break even point (titik impas),tapi penghasilan yang berlebih.
Ustadz Ingkar Janji
Nah, inilah yang ingin saya ceritakan. Kisah peceramah dan tarif. Ini kisah tentang seorang ustad asal Jakarta. Sebut saja Ustadz Ingkar Janji. Ustadz ini putera mubalig kondang asal Jakarta yang juga sering muncul di layar kaca.
Lewat rapat bersama, masyarakat Pulau Tidung Kepulauan Seribu merencanakan memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW 1435 H pada 5 Februari 2014. Panitia memutuskan mendatangkan Ustad Ingkar Janji ini.
Untuk mengundang Ustad, pertengahan November tahun lalu panitia menghubungi seorang lelaki yang yang konon saudara dekat sekaligus manajer si Ustadz. Pada 23 November, lewat pesan singkat, lelaki yang bekerja sebagai PNS Kementerian Agama ini menginformasikan Ustadz bakal hadir. “Oke Bu, Ustadz bisa hadir undangan Maulid Pulau Tidung tanggal 5 Februari,” katanya.
Untuk mendatangkan, tarif yang disepakati Rp 7 juta. Pada 3 Januari, panitia mengirim via bank Rp 1 juta sebagai “tanda jadi”. Karena mempertimbangkan cuaca, panitia menghubungi si Manajer. Panitia mengusulkan waktu Maulid diubah. Panitia mempertimbangkan kondisi cuaca. Usulan ditolak. Alasannya, jadwal Ustadz sudah padat.
Hingga dua hari sebelum acara, Ustadz dipastikan bakal hadir. Tapi kepada panitia,si manajer ini meminta honor Ustad ditambah jadi Rp 8 juta. “Ustadz takut ombak. Kalau ditambah pasti datang,” katanya. Kenaikan bisa “digoyang”. Hanya tambah Rp 500 ribu.