Dari balik guci kokoh di pojok ruangan itu Vita menatap terpukau pada kilauan yang ada di tungku. Tungku yang sedang digunakan untuk merebus daging ayam. Wangi rebusan ayam itu tidak ia hiraukan. Tidak menarik sama sekali bagi dia. Tapi kilauan itu selalu membuatnya kagum. Dia ingin terus menerus melihat kilauan itu.
Kilauan merah menyala itu begitu gagah. Dia begitu mengagumkan dan memiliki kharisma layaknya ksatria-ksatria di medan perang. Manusia di bumi ini menyebutnya bara.
Bara menurut manusia sangat panas. Dia bisa menjadi sahabat bagi manusia dan bisa juga menghancurkan manusia. Manusia bisa terbakar dan hangus oleh kilauan merah gagah itu. Tapi manusia juga mendatangkan bara untuk memasak dan menerangi gelapnya malam.
Vita senang jika manusia-manusia di sekitarnya mengambilnya dari guci. Menempatkannya ke dalam panci. Mendekatkannya dengan panci itu ke bara. Panasnya bara yang dikatakan manusia berbahaya justru menjadi rasa yang selalu ingin dia dapatkan.
Vita akan berteriak kegirangan di ketika bara mulai menyentuh panci itu. Panasnya bara justru seperti rabaan jemari lembut yang mengalirkan sengatan-sengatan kecil seperti gigitan semut pada dirinya. Vita senang berlama-lama dengan sensasi itu.
Tidak jarang Vita mendesah dengan suara lembut, "Ayo teruskan bara. Inilah satu-satunya cara aku bisa dekat denganmu." Bara akan melakukannya terus, walau Vita yakin dia tidak mendengar apa yang Vita ucapkan.
Sensasi menyenangkan itu, sayangnya, akan berakhir jika panci diangkat. Vita akan terlepas lagi dari bara. "Jangan! Jangan! Biarkan aku tetap di dekat Bara," itu yang selalu Vita serukan jika tangan manusia itu mulai mendekat untuk mengangkat panci yang menampungnya.
Vita ingin sekali berbicara pada bara. Dia ingin sekali mendekat dan memeluk bara. Tapi Vita tahu, tanpa adanya media perantara Vita dan Bara justru akan saling meniadakan. Pertemuan mereka dalam jarak dekat dan sentuhan langsung akan melahirkan wujud baru.
Kelahiran wujud baru itu tidak Vita senangi. Sekali waktu Vita dituangkan oleh seorang manusia di atas bara yang disebut manusia kebakaran. Kepulan hitam lahir di antara dirinya dan bara.
Kepulan hitam itu bersuara aneh. Dia sepertinya berteriak-teriak kesetanan menonton pertarungan dua pentinju, "Rasakan Bara, mampus kamu disiram air. Enyah dan enyahlah kau keparat!"
Vita sangat sedih mendengarkan umpatan itu. Tidak ada niatnya menyakiti bara. Dia ingin tetap melihat bara berkilauan dengan gagah. Tapi kepulan hitam itu justru menggertaknya, "Air! Air! Cepat, tambah air supaya mampus si Bara! Ha...ha...ha...!"