Mei memiliki makna cantik atau indah. Kata ini juga bisa berarti adik kecil yang perlu dilindungi. Namun Mei di Indonesia tidaklah indah. Mei juga telah gagal dilindungi. Ia telah tersakiti. Tersakiti oleh saudara-saudaranya sendiri. Mei harus menderita luka, luka abadi yang tidak akan pernah sembuh lagi.
Bulan Mei menjadi penuh torehan kesedihan. Torehan kesedihan itu terus diulang. Diulang oleh saudara-saudara Mei. Apakah memang sudah takdir Mei, atau memang Mei dipilih sebagai tempat segala luka dan kebencian. Saat ini  Mei kembali kelabu. Airmatanya kembali bercucuran. Saudara-saudara yang melindungi Mei malah disusahkan. Banyak Mei, dan Mei yang lain, serta Mei lagi, yang ada di sana. Ia masih terisak, terusik, dan terasuk dengan  ketakutan. Ketakutan yang memang dibuat untuk Mei. Ia sudah hilang asa. Ia sudah hilang harap. Mei hanya bisa melihat luka itu. Lukanya yang semakin dalam. Luka yang membuat Mei hancur lebur.Â
Ada mencoba menghilangkan ingat tentang luka-luka Mei. Saudara-saudara yang sayang pada Mei akan terus mengingatnya. Mereka tahu Mei terluka. Mereka mengasihinya. Mereka masih mencarikan keadilan yang tak  kunjung tiba untuk Mei. Hanya rangkai kata-kata dan cerita yang bisa mereke persembahkan kepada Mei. Untaian relung jiwa yang turut merasakan luka Mei, walau tidak mampu menyembuhkannya. Ijinkan pula kami mengenang Mei dan luka-lukanya di sini.
**
Mei:Jakarta, 1998
Joko Pinurbo
Tubuhmu yang cantik, Mei
telah kaupersembahkan kepada api.
Kau pamit mandi sore itu.
Kau mandi api.
Api sangat mencintaimu, Mei.
Api mengecup tubuhmu
sampai lekuk-lekuk tersembunyi.
Api sangat mencintai tubuhmu
sampai dilumatnya yang cuma warna,
yang cuma kulit, yang cuma ilusi.
Tubuh yang meronta dan meleleh
dalam api, Mei
adalah juga tubuh kami.
Api ingin membersihkan tubuh maya
dan tubuh dusta kami
dengan membakar habis
tubuhmu yang cantik, Mei.
Kau sudah selesai mandi, Mei.
Kau sudah mandi api.
Api telah mengungkapkan rahasia cintanya
ketika tubuhmu hancur dan lebur
dengan tubuh bumi;
ketika tak ada lagi yang mempertanyakan
nama dan warna kulitmu, Mei.
**
Kecantikan Mei hancur lebur. Mei sudah hilang rupa. Kehancuran Mei coba dihapus dari alur waktu pula. Dikubur dengan masa dan ditutup dengan waktu. Kami, orang-orang terdekat Mei tidak akan lupa itu. Asa memang sudah hampir pupus untuk memberinya keadilan di dunia ini. Sepertinya luka Mei sudah diobati dengan lebih sempurna oleh Sang Khalik ketika ia pulang ke sisinya. Ingatan kami akan Mei tidak akan terkubur oleh lini masa dan lamanya waktu.
Torehan luka itu tidak memerlukan bedil saudaraku. Torehan luka itu tidak pula memerlukan buluh. Torehan itu kau buat dengan ujaranmu. Luka Mei kau tambah dari waktu ke waktu dengan tayanganmu di akun-akun itu. Fitnah dan kebohongan bahkan menikam lebih tajam daripada samurai yang mematikan buat Mei.
Tidak ada pilihan lain bagi Mei. Inilah rumahnya. Inilah keluarganya. Inilah negeri yang dicintainya. Mei tetap saja berjalan dengan lukanya. Luka abadi yang akan terus ditambah. Mei hanya bisa berdoa, lapangkan hati saudaraku ya Tuhan. Biarlah aku yang terluka dan hancur saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H