Mohon tunggu...
Suka Coddo
Suka Coddo Mohon Tunggu... wiraswasta -

coddolah sebelum coddo itu dilarang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebuah Lorong Gelap di Kotaku

20 Februari 2012   05:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:26 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13297152261952762885

Liu Fang tercinta, Bersama surat ini aku kirimkan kepadamu sepasang bola mataku yang kucongkel dengan pisau. Sebuah keputusan paling berani sekaligus paling konyol yang pernah kulakukan dalam hidupku; menyerahkan bola mataku kepada seorang gadis buta yang belum tentu bisa kumiliki dalam arti sesungguhnya. Kau tahu Liu Fang? Ketika kuputuskan mencongkel bola mataku di anjungan pantai ini, pantai yang dulu sering kita kunjungi untuk menyaksikan lazuardi merah menyala-nyala membakar langit, pantai yang dulu sering kita kunjungi untuk bersenda gurau di saksikan kerling genit gemintang dan bulan yang gilang gemilang, pantai yang dulu sering kita kunjungi untuk bergandengan tangan di lengan air atau melukis impian-impian kita di atas pasir putih, seluruh pengunjung pantai mengerumuniku dengan berbagai macam ekspresi dan tanggapan. Kendaraan yang lalu-lalang sontak berhenti. Puluhan bahkan ratusan wartawan dari berbagai media datang meliput peristiwa yang menggemparkan, yang baru pertama kali terjadi di kota ini, bahkan di dunia ini. Dan ketika mereka tahu apa yang kulakukan hanyalah untuk seorang gadis buta yang tak tahu rimbanya dan sudah berpisah sejak lima tahun lalu, sebagian besar dari mereka menertawaiku, Liu Fang. Sebagian besar dari mereka mengataiku goblok, Liu Fang. Sebagian besar dari mereka mengatai tolol, Lui Fang. Bahkan, di antara mereka ada yang menyataiku saraf, gila, edan, tak punya otak! Dan lebih kurang ajar Liu Fang, di antara mereka justru ada yang menendangku, menjitak kepalaku, menjambret rambutku, meludahi wajahku, dan menempelengku. Tapi aku tak peduli, Sayang. Aku justru tertaw-tawa. Aku justru berdendang. Aku justru menari seperti yang pernah kita lakukan disepanjang pantai ini. "Dasar tolol!" "Dungu!" "Saraf! "Makan tuh cinta! Cuih!" Plak...plak...plakkk!!! Lui Fang sayangku, manisku. Sejak kau menghilang entah ke mana lima tahun lalu, sejak itu pula hidupku menggelinding ke sebuah dunia yang asing, sendiri, terlunta-lunta tak tentu arah. Aku seperti layang-layang putus diterbangkan angin garang. Aku laksana sebuah perahu yang diterjang badai, dihantam gemuruh ombak, dicabik-cabik gerombolan hiu, lalu karam jauh ke palung laut. Aku berduka, aku merana, aku menderita, dan aku menjadi gelandangan. Ya! Aku menjadi gelandangan di kota ini, tidur di emperan toko, di taman-taman, di gorong-gorong, sampai di kolong jembatan. hidupku kalut. Hatiku berkabut. Setiap hari selama lima tahun itu aku mencarimu di tempat-tempat yang pernah kita kunjungi bersama Lui Fang. Kau masih ingat kedai baca Sipakainga di depan kampus Merah itu? Tempat di mana pertama kali kita mengeja cinta lewat syair-syair Gibran? Lalu, dua kilometer dari kedai baca itu, ada sebuah danau tempat kita sering memancing berjam-jam lamanya, bahkan kita pernah diuber-uber kantim karena kedapatan berdekapan dan berciuman di puncak malam. Kau juga pasti tak pernah lupa dengan tempat yang tak usah kukatakan di sini, tempat di mana kita pertama kali menjadi sepasang merpati yang saling bergumul, mematuk, berguling-guling memperebutkan sebutir mutiara kasih. Ada sebuah vila mungil di atas puncak, tempat biasanya kita bercinta dengan cara yang tidak perlu kubahasan di sini, entah sudah berapa kali kukunjungi Liu Fang. Kau pasti ingat dengan taman vila itu. Yang ditumbuhi berbagai jenis bunga mulai dari bunga matahari, Brazilian jasmine, cosmos, lili, trellis, sampai bunga morning glory yang daunnya berbentuk hati, berwarna lavender putih, biru dan merah marun. Kau masih ingat kan? Ketika kita saling berjanji akan membuat sebuah taman seperti itu sambil menghirup aroma bunga sedap malam? Ah, yang paling mengesankan dalam pencarianku selama lima tahun ini Liu Fang, ketika aku ditangkap, dibuang ke atas mobil patroli seperti barang rongsokan, dan tubuhku menjadi jatah sepatu kopral karena tidur seperti gelandangan di teras kantor DPRD selama satu minggu berturut-turut. Kau masih ingat kan? Kita pernah melakukan hal yang sama, Sayang! Kita pernah tidur bersama ratusan orang lainnya di kantor itu, melakukan demonstarasi besar-besaran, mendesak para anggota dewan goblok itu mengeluarkan Perda tentang percintaan. Nyatanya, mereka malah sibuk membuat Perda Miras, Sayangku. Beberapa bulan kemudian, Satpol PP keparat itu menggiringku seperti kerbau hanya karena aku memandangi fotomu sambil menari bersama lautan kunang-kunang di taman kota. Begitulah penderitaanku selama ini, Sayang, hingga akhirnya aku bertemu dengan Paman A Siong yang baru sembuh dari gila dan rupanya sudah pindah dan membuka kios klontong di dekat pantai ini. Dari Pamanlah kuketahui jika kau sudah di negerimu dalam keadaan buta, hidup trauma setelah bola matamu dicungkil, setelah kau diperkosa secara bergiliran disebuah hari yang rancung Mei 1998 silam. Liu Fang cintaku, manisku, Begitulah, akhirnya kekasihmu yang hina dina ini, yang sudah menjadi gelandangan ini, memutuskan untuk menyerahkan sepasang bola mata untukmu. Apalah artinya mataku bisa melihat tapi jiwaku mengembara dalam kegelapan tanpamu, Kekasihku? Aku belum yakin kau akan melupakan sepenggal kisah surammu, aku belum yakin kau akan terbebas dari penderitaanmu, tetapi aku berharap dengan sepasang bola mata di dalam amplop ini, setidak-tidaknya kau akan sadar sesadar-sadarnya jika ada seorang gelandangan yang tulus mencintaimu. Bagaimanapun keadaan sekarang, aku akan selalu menantimu disebuah tempat paling sunyi, paling rahasia, dan hanya kita berdua yang tahu. Di sana, kita akan belajar mencintai luka dan berbicara banyak tentang nasib kita yang nyaris serupa, Sayang! Akupun pernah diperkosa bergiliran seperti yang kau alami, oleh mereka yang tempo hari menggiringku seperti kerbau ke atas mobil itu, entah kenapa, tapi katanya di kota ini seorang gelandangan tak lebih dari seekor anjing. Maka aku hanya melolong waktu itu. "Hanya anjing yang mau bersetubuh dengan anjing!" ah, maaf Sayang, kita sebagai perempuan, kurang pantas berbicara seperti itu. Yang setia mununggumu, Alena...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun