Hadiah lebaran tahun ini (2022) cukup unik, di sela-sela kesibukan mempersiapkan mantenan, ternyata dapat email hadiah dari Redaksi jurnal. Jurnal ini cukup bergengsi, ya Jurnal Rechtvinding, yang diterbitkan BPHN dengan ranking yang juga oke-lah. Jurnal ini ditulis dengan cukup ngebut, syukurnya ditulis scara bersama-sama jadi bisa dirampungkan tepat waktu. Ide tulisan ini sy dapatkan ketika berpraktik sebagai Advokat dan dihadapkan dengan kasus di daerah. Ketika menelusuri bahan-bahan hukum, rupanya ada satu persoalan serius yang perlu diperhatikan. Intinya, bagi lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan membentuk regulasi, harus cermat dalam menentukan jenis produk hukum tindak lanjut dari Putusan Pengadilan, jika tidak maka siap-siap dikemudian hari berhadapan kembali dengan meja hijau.Â
Berikut link aksesnya:Â Link Jurnal
Abstrak:Â
Pasal 24A UUD 1945 Amandemen menegaskan bahwa MA berwenang menguji Peraturan perundang-undangan di bawahundang-undang terhadap undang-undang. Kewenangan Hak Uji Materil diatur dalam Peraturan Mahkamah AgungNomor 1 tahun 2011 tentang Hak Uji Materil dan dalam hukum acaranya, model pelaksanaan putusan menggunakanasas contrarius actus, yakni MA sebatas menyatakan bertentangan, tetapi pencabutan diserahkan kepada badan terkait.Banyak permasalahan yang muncul, salah satunya adalah penentuan jenis produk hukum dari pelaksanaan Putusan hakuji materil, seperti dalam Putusan Mahkamah Agung 28 P/HUM/2018. Putusan itu menguji Peraturan Daerah, tetapipelaksanaan putusan menggunakan Peraturan Bupati.
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif,dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan konseptual. Hasil pembahasan adalah pertama terdapatketidaksamaan badan pembentuk dan jenis produk hukum dalam objek pengujian dan pelaksanaan putusan. Jenis produkhukum yang diuji tergolong primary legislation yang disusun melibatkan 2 kekuasaan (DPRD dan Bupati), sedangkantindaklanjut menggunakan produk hukum yang tergolong subordinate legislation yang dibentuk tunggal oleh Bupati.
Kedua, Peraturan Bupati yang menindaklanjuti itu tidak memiliki keabsahan, karena Bupati tidak berwenang menyusunsecara mandiri norma-norma umum dan bersifat lokalitas, yang tidak memiliki dasar yuridis dalam regulasi nasional(UU, PP, Permendagri). Tindaklanjut tersebut harus menggunakan produk selevel, yakni Peraturan Daerah yang memilikilegitimasi kuat karena melibatkan dua kekuasaan yang mendapat mandat langsung dari rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H