PASAR HOAX DAN "SAKAU" KEKUASAAN
Syamsu Alam *)
Media Sosial (medsos), kini menjadi medan perang kata (wacana). Satu pihak melancarkan serangan kepada pihak lain, yang lainnya pasang kuda-kuda untuk melakukan counter-attack. Medos awalnya adalah media berbagi informasi, diskusi, dan berkolaborasi. Kini bermetamorfosis menjadi alat propaganda yang powerfull. Benturan kepentingan akan menyeret pihak-pihak yang terlibat untuk melakukan apa saja demi mencapai tujuan. Apa, dan siapa yang terlibat dalam transaksi Hoaks? Elegankah melawan Hoaks dengan Hoaks? Dan apa relevansi pesan Agama, telah dibutakan mata, telinga, akal dan hatinya untuk menerima kebenaran?
Hampir setiap peristiwa, khususnya yang berpotensi menimbulkan konflik selalu disertai dengan pasar Hoaks. Kata hoaks sendiri muncul pertama kali dari sebuah film yang berjudul  The Hoaks, film drama Amerika 2006 yang disutradarai oleh Lasse Hallstrm. Sederhananya Hoaks adalah kata yang berarti ketidakbenaran suatu informasi, mengandung tipuan dan kebohongan. Kebohongan sendiri sudah ada sejak masa manusia pertama hadir ke bumi.
Rezim Utama
Saya teringat bulan lalu, perjalanan di Jakarta, dari blok M ke Bundaran HI, sopir moda transportasi online berujar ke saya, "Mas, di Indoneaia ini hanya ada dua perang kekuatan politik, pro keluarga atau ide-ide Sukarno dan pro Suharto". Terkesan reduksionis tapi banyak benarnya. Sembari menyetir, dia melanjutkan ceritanya. Lihat saja mas, mantan-mantan presiden. Pak Habibie, Gusdur, Mega, dan Jokowi lebih pro Sukarno, selainnya pro kubu sebelah. 'Piye kabare, enak jamanku toh'. Demikian pengikut Suharto mereproduksi 'post power sindrom-nya'.
Ada banyak isu yang dengan mudah membuat kita terbelah dalam dua kutub kekuatan politik. 'Penggorangan' isu Sunni-Syiah, Ahok, Suriah vs Koalisi Arab Saudi, hingga persoalan remeh temeh seperti model rambut Jokowi pun tak luput dari perang sosmed. Isu terakhir adalah soal Hoax terbesar Orde Baru film G.30 S/PKI. Isu yang menunjukkan betapa kealpaan pengetahuan pihak anti komunis, hingga membuat meme, Komunis sama dengan Liberal. Sejak kapan komunis jadi liberali?
Gempuran Hoaks melalui produksi dan reproduksi teks tidak tepat diatasi dengan indoktrinasi. Apalagi indoktrinasi sekadar menguatkan status quo. Hal tersebut hanya akan menyebabkan individu dan masyarakat terjerambab dalam lubang sumur kebodohan. Sekaligus sejenis malpraktik. Melawan kebohongan hanya bisa dengan tidak melakukan kebohongan apalagi mereproduksinya. Bagi Rocky Gerung, Hoax adalah tantangan kritis bagi nalar publik. Menurutnya, Hoaks hanya dapat dilawan secara efektif melalui Literasi (tradisi baca, diskusi, dan menulis).
Sepertinya perlu direnungkan bahwa, setiap text pasti tidak terlepas dari konteks (peristiwa yang dipengaruhi oleh setting aktor, waktu, tempat dan budaya). Dan terakhir interpretasi atas text dan konteks. Siapa yang paling berhak menafsirkan teks dan konteks? Jangan cari jawabannya pada kubu penguasa. Carilah pada siapa pun yang tidak terlalu 'menggilai kekuasaan'. Meskipun menafsirkan sesuatu adalah juga sejenis kuasa. Setidaknya ada penguasaan pengetahuan (otoritas keilmuan) bukan atas kekuasaan karena lembaga atau institusi (misalnya Negara). Kenapa? Karena yang berkuasa paling berpeluang membuat hoaks dengan piawai.
Tapi kini, di era 'banalitas informasi' kekuasaan bisa menyebar pada siapa saja. Tapi tetap saja negara (penguasa) paling punya potensi terbesar. Nah, atas perang text dan penafsiran yang terjadi. Tuhan telah lebih awal mengantisipasinya, melalui seruan Bacalah. Bacalah dengan panca indera, pahami dengan akal, dan terakhir yakinkan dengan hati, untuk dan atas nama Tuhan. Medan perang kedua Rezim di Indonesia yang makin luas dan kompleks, kerap mengabaikan seruan tersebut.
Hoax alat Indoktrinasi