Mengunjungi Pangalengan tentu saja tidak sempurna rasanya jika tidak mampir ke sebuah tempat bersejarah yang bernama Rumah Bosscha. Tempat ini tidak jauh dari jantung Kecamatan Pangalengan, dengan memakai motor kurang lebih menempuh waktu seperempat jam untuk bisa sampai ditujuan. Atau jika tidak mau tersesat anda bisa menggunakan google maps ataupun menggunakan GPS, gunakan penduduk sekitar. Ya itulah istilah keren sekarang, karena pepatah lama mengatakan bahwa malu bertanya sesat di jalan.
Di sepanjang perjalanan, Anda akan disuguhi lautan kebun teh yang tentu saja sangat memanjakan mata. Jika Anda beruntung, Anda akan menemukan petani-petani yang sedang asyik memetik teh, ataupun Anda akan merasakan sensasi yang berbeda ketika kabut turun menyelimuti perbukitan di sepanjang jalan menuju Rumah Bosscha.
Di depan gerbang Rumah Bosscha Anda akan diterima ramah oleh petugas, cukup membayar Rp 5.000 Â per orang, Anda sudah bisa menikmati megahnya bangunan tua bersejarah itu.Â
Jika sedang sepi pengunjung Anda akan diperbolehkan masuk ke dalamnya. Namun jika sedang ramai pengunjung biasanya petugas tidak akan memperbolehkan masuk karena dikhawatirkan akan merusak benda-benda bersejarah yang ada di dalamnya.
Rumah ini sangatlah cantik, simpel dan kokoh seperti rumah-rumah peninggalan Belanda pada umumnya. Di dalamnya suasana zaman kolonial sangatlah terasa.Â
Benda-benda klasik dan unik serta perabotan dan lukisan-lukisannya sangatlah mendukung untuk membantu Anda kembali ke masa lampau. Tidak hanya itu, di kawasan Rumah Boscha terdapat beberapa villa yang telah dibangun rapi di area belakang Rumah Boscha. Dengan merogoh kocek Rp 700.000 per malam Anda sekeluarga bisa menginap di tempat bersejarah ini.
Kedatangan seorang pria berdarah Belanda pada tahun 1887 ke Indonesia dengan niat baiknya dan hasil karyanya atas kebun teh
Malabar yang membuat lebur hati masyarakat Pangalengan khusunya dan seluruh warga Indonesia pada umumnya membuat Bapak baik hati yang satu ini dicintai oleh banyak orang. Sehingga kediaman pribadinya yang nyaman itu masih terawat baik dan berdiri dengan kokoh hingga sekarang.
Bukan hanya itu, bahkan makamnya pun masih terawat baik hingga detik ini. Peristirahatan terakhirnya itu tidak jauh dari kediamannya di masa hidupnya dulu yaitu kurang lebih 100 meter jaraknya. Sama halnya seperti di Rumah Bosscha, ketika kita ingin berziarah ke makam Bosscha kita juga akan disambut ramah oleh petugas makam tersebut. Cukup dengan merogoh kocek sebesar Rp 5.000 rupiah kita bisa merasakan sensasi ketenangan dari peristirahatan terakhir Bosscha.
Seiring berkembangnya zaman, seakan kedua tempat bersejarah itu dan bahkan Bapak Bosscha yang baik hati ini memudar eksistensinya dikalangan anak muda. Memang seperti halnya yang dijelaskan oleh Roeslan Abdulghani dalam bukunya yang berjudul "
The Bandung Connection" atas peristiwa KAA 1995 di Bandung bahwasanya memang
sejarah itu ada pasang surutnya.Â
Tidak bisa terus-terusan pasang eksistensinya, pasti ada surutnya juga. Namun kembali lagi kepada kita bagaimana caranya menjaga nilai-nilai yang diwariskan oleh masa lampau terhadap kita supaya keberadaannya tetap mengilhami dan menjadi sebuah ilmu dan kebijakan yang bisa kita peroleh di masa sekarang. Â
Selamat menjelajah waktu!
Lihat Trip Selengkapnya