Mohon tunggu...
Alam Ahmad
Alam Ahmad Mohon Tunggu... Freelancer - Sarjana Humaniora yang berprofesi sebagai pustakawan sekaligus Barista.

Sastra dan perjalanan; Seorang penelisik takdir Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kuli Tinta, Sebuah Profesi yang Bisa Menentukan Surga dan Nerakanya Sendiri

3 Oktober 2018   23:47 Diperbarui: 3 Oktober 2018   23:48 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di zaman yang serba cepat ini informasi sangatlah cepat bahkan melebihi rotasi bumi. Didukung dengan adanya internet membuat siapa saja mampu untuk mengirimkan berbagai macam informasi bahkan sebuah berita kepada siapapun tanpa peduli dengan dampak yang akan ditimbulkannya.

Salah satu pemeriahnya adalah para kuli tinta. Dari masa ke masa profesi ini sangatlah berperan penting atas kemajuan revolusi dunia. Mulai dari Perang Dunia pertama hingga zaman Orde Baru di Indonesia--peran para kuli tinta sangatlah hebat hingga muncul sebuah julukan untuk kuli tinta yang baru yaitu 'separuh diplomat separuh detektif'. Namun dimasa sekarang, pekerjaan mulia itu banyak ternodai oleh oknum-oknum kuli tinta yang melupakan kode etik jurnalistiknya demi setumpuk rupiah.

Padahal di dalam deretan kode etik jurnalistik dijelaskan bahwa seorang kuli tinta harus mempunyai itikad baik. Jika itikad itu dilupakan maka kode etik-kode etik lainnya juga akan ikut rusak sepertihalnya: Seorang kuli tinta harus menyajikan sebuah berita secara faktual bukan opini, seorang kuli tinta tidak boleh menerima 'amplop', ataupun seorang kuli tinta tidak boleh menyajikan berita bohong dan fitnah. Jika oknum kuli tinta tersebut sudah melupakan itikad baiknya maka beberapa kode etik lainnya juga akan dilanggar.

Teringat masa lalu ketika kita masih kecil dulu tentunya kita terus-terusan dinasihati oleh ibunda kita bahwasanya  tidak boleh berbohong kepada siapapun karena berbohong itu dosa. Hal itu terus menerus mendengung di telinga sehingga berwujud sebuah etika dan moral yang harus dijaga. Nasihat lama itu seharusnya diamalkan oleh para kuli tinta.

Jika seorang kuli tinta membuat sebuah berita tentang suatu kebohongan, maka bayangkan saja milyaran juta orang di negeri ini memproduksi dosa untuk kuli tinta yang membuat berita tentang kebohongan tersebut. Padahal ketika kita berbuat dosa kepada satu orang saja maka kita harus benar-benar meminta maaf supaya orang yang kita sakiti memaafkan. Lantas bagaimana dengan milyaran juta orang yang telah kita bohongi? Bagaimana cara kita meminta maaf kepada mereka? Terlebih lagi jika kita melihat dampak yang akan ditimbulkannya, tentunya akan sangat merugikan banyak pihak.

Namun di sisi lain apabila seorang kuli tinta mau beritikad baik dengan cara mengamalkan kode etik jurnalistik yang sudah disepakati bersama maka berapa milyar pahala yang akan ia terima? Sungguh tidak terhitung jumlahnya.

Jadi, seorang kuli tinta bisa menentukan surga dan nerakanya sendiri kelak di akhirat nanti bukan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun