Sore itu saya bersama kawan pergi ke sebuah desa yang terletak di utara Kabupaten Sukoharjo. Desa itu adalah Desa Bekonang. Desa dengan intensitas lalu lintas sedang antara Kota Solo dan Kabupaten Karanganyar. Hamparan sawah luas, subur, dan hijau menjadikan desa ini terlihat asri dan damai. Penduduknya terlihat sangat ramah. Aktivitas sosial dan religi telah mampu memeluk hangat masyarakatnya.
Siapa sangka desa damai nan asri tersebut ternyata desa penghasil alkohol. Papan bertuliskan sentra penghasil alkohol menyambut saya ketika masuk. Tak hanya papan, aroma badek (limbah alkohol) yang khas juga menyambut kedatangan saya sore itu. Samping kanan dan kiri jalan, terlihat tumpukan kayu bakar dan drum plastik. Orang-orang terlihat sedang beres-beres di rumah produksi yang tidak jauh dari rumah mereka.
Selain alkohol, ada sesuatu yang lebih klasik yang perlu diketahui dari desa ini yaitu ciu. Ciu? Mungkin terdengar sederhana dan lucu. Hanya satu suku kata. Mudah diucapkan. Masyarakat Bekonang akrab dengan ciu, jenis minuman beralkohol tradisional yang menjadi bagian dari proses pembuatan alkohol. Minuman ini tidak hanya terkenal di Bekonang. Ketenarannya terdengar di seluruh wilayah Sukoharjo, Soloraya (Karesidenan Surakarta), bahkan sebagian ibu kota negara ini.
Sejarah menuliskan keberadaan ciu pertama kali ada pada tahun 1930-an, tepatnya pada masa penjajahan Belanda. Ciu bukan murni temuan masyarakat Bekonang, Kompeni Belanda yang membawanya. Mereka ajarkan para penduduk untuk membuat ciu untuk minuman dan alkohol. Mengingat pada kala itu meningkatnya produksi tebu di Bekonang menjadikan tetes (sisa produksi gula) Pabrik Gula Sondokoro Karanganyar juga melimpah.
Tekanan hidup berupa kemiskinan kala itu menimpa masyarakat Bekonang. Masalah pengangguran telah menjadi momok. Masyarakat kemudian berpikir untuk mencoba membuat alkohol berbekal pengajaran yang diberikan oleh Kompeni Belanda. Namun usaha itu tidak membawa hasil yang lebih baik. Alkohol buatan masyarakat ternyata kalah dengan buatan pabrik-pabrik alkohol yang diproteksi oleh Kompeni Belanda. Apa boleh buat, akhirnya masyarakat berbondong-bondong membuat ciu. Akhirnya berbuah baik, ciu digemari masyarakat.
Masyarakat membuat ciu dengan peralatan sangat tradisional kala itu. Tungku dari tumpukan bata merah, pipa destilasi dari bambu, dan kuali dari hasil tanah lempung yang dibakar. Kuali diisi adonan dengan badeg, air, ragi, tetes dan didiamkan selama empat hari untuk fermentasi. Adonan dimasak lewat tungku untuk diambil uap airnya. Uap air dialirkan ke kuali pendinginan lewat pipa bambu dan keluarlah ciu.
Ciu diminati oleh penduduk sekitar, kompeni, bahkan para pejabat Keraton Surakarta. Kehangatan dan aroma khas ciu yang harum telah mampu menjaga para konsumen untuk tetap setia meminumnya. Ciu telah membawa peningkatan ekonomi masyarakat Bekonang. Terlihat mereka mulai membangun rumah produksi yang semakin besar dan jumlah rumah produksi bertambah setiap waktunya. Produksi ciu terus dilakukan hingga anak keturunan mereka hingga saat ini.
Sekarang ini, banyak para akademisi seperti mahasiswa, dosen, dan pengusaha yang telah bertapa ilmu ciu di desa ini. Desa ini mampu menelurkan para praktisi ciu setiap tahunnya. Inovasi tentang ciu juga terus bermunculan. Produk-produk seperti pupuk cair, alkohol medis, bioethanol, saos rokok, dan jamu adalah salah satunya. Namun sayang pemerintah kurang merespon baik atas inovasi ini. Pemerintah terlihat belum mau untuk mensosialisasikan inovasi positif ini kepada masyarakat secara luas dan konsisten.
Masyarakat Sukoharjo dan sekitarnya sekarang masih terperangkap dalam stigma tradisional bahwa ciu adalah minuman beralkohol dan penyimpangan sosial. Untungnya masyarakat sadar bahwa ciu adalah satu-satunya mata pencaharian mayoritas masyarakat Bekonang. Jika pekerjaan mereka dilarang oleh masyarakat, maka mereka akan menjadi masalah ekonomi baru. Lagipula walau membuat penyimpangan sosial, stabilitas keamanan Sukoharjo masih dapat dikendalikan dengan baik.
Sebenarnya yang ditakutkan oleh para pengrajin ciu bukanlah dari masyarakat sendiri, tetapi organisasi masyarakat radikal. Mereka seringkali melakukan razia kepada pengrajin ciu. Tidak usah dirazia pun sebenarnya para pengrajin tahu bahwa pekerjaan mereka ini tidak sesuai dengan perintah agama. Tetapi yang membuat para pengrajin ciu tidak terima adalah organisasi tersebut tidak memberikan solusi untuk mereka. Seolah-olah mereka hanya datang merusak dan pergi. Jika dianalogi, apa bedanya dengan seorang preman yang memalak pedagang pasar?
Pemerintah kemudian datang mengintervensi masalah ciu. Masyarakat berharap pemerintah datang bak seorang bijaksana yang mampu memberikan solusi tengah atas masalah. Tetapi masyarakat harus kecewa karena pemerintah mengeluarkah Perda tentang pelarangan ciu. Dengan kata lain ciu harus dihapuskan, tetapi minuman beralkohol bermerk dibolehkan beredar. Akibatnya, para pengrajin terancam untuk bangkrut, korban jatuh miskin bertambah, organisasi masyarakat radikal tepuk tangan, para kapital vodka dan kawan-kawan bersorak riang.
Sejarah ciu terus tergerus di tengah perlawanan kelompok masyarakat dan pemerintah. Para pelawan seharusnya membuka pikiran tentang ciu. Mereka harus melihat para inovator-inovator yang ditelurkan oleh masyarakat Bekonang. Telur-telur itu bukan telur biasa, mereka kumpulan orang cerdas. Mereka tahu ciu ini mau dibawa ke mana. Pemerintah seharusnya mendukung mereka demi lestarinya sejarah ciu dan manfaatnya untuk kemaslahatan masyarakat.
Aroma badeg sedikit demi sedikit hilang. Matahari semakin menjauhkan sinarnya dari Desa Bekonang. Saya yang sedang duduk berdiam di pematang sawah bersama kawan segera mengakhiri renungan. Sungguh indah matahari terbenam kala itu. Desa ini harus segera mengakhiri kehangatannya di hari sore. Para petani dengan sepedanya kembali ke desa. Begitu pula kami, kami juga pulang bersama mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H