"Putih!" Lasmi berusaha menyergahku tapi sia-sia.
Aku menerjang Masrul, kucakar-cakar wajahnya, lalu kugigit salah satu kakinya. Masrul sempat panik. Ia berlari ke arah kamar tidurnya. Ia mengambil senapan laras panjang yang selama ini ia simpan di dalam lemari pakaiannya. Katanya untuk jaga-jaga dari tamu tidak diundang, maling atau perampok misalnya. Lalu ia menarik pelatuknya.
DOR! senapan laras panjang ditembakkan ke arahku. Peluru timah panas dan tajam tepat mengena tubuhku. Aku terhempas dan jatuh tersungkur di lantai.
"Putih!" Lasmi menjerit histeris.
Masrul segera lari dari rumah. Demikian pula dengan dua orang lonte yang tadi dibawanya. Aku tidak tahu ke mana mereka akan pergi, aku tidak tahu apakah Masrul akan memuaskan nafsu seks liarnya bersama mereka di tempat lain, atau membatalkannya karena tragedi ini. Aku tidak tahu dan aku tidak mau tahu. Tubuhku melemas. Rasa-rasanya semakin gelap saja. Mataku berat, hingga akhirnya tertutup, tetapi bulu-buluku dapat merasakan sentuhan lembut dan pelukan Lasmi. Lasmi memelukku. Ia menangisi keadaanku. Aku paling tidak suka dengan adegan seperti ini.
"Jangan mati, Putih..." Lasmi terus menerus mengulang kata-kata itu.
"Ah, Lasmi, maafkan aku. Andai saja bisa, aku ingin mengatakannya padamu bahwa aku sangat mencintaimu, Lasmi.." kataku pada Lasmi, tetapi suara yang terdengar di telinga Lasmi hanyalah lolongan panjang seekor anjing biasa sepertiku.
Cilincing, 21 Mei 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H