[caption caption="Prinsip gotong-royong BPJS (Sumber modifikasi dokpri)"][/caption]
Dulu, kita sering mendengar ungkapan satir yang mengatakan “orang miskin jangan sakit”, atau berita di media cetak dan elektronik yang mengabarkan pasien yang terpaksa menjual tanah dan rumahnya demi mengobati penyakitnya. Dan kita juga pernah mendengar berita tentang pasien miskin yang meninggal karena rumah sakit menolak menanganinya. Sebuah ungkapan dan berita yang menunjukkan betapa mahalnya biaya untuk berobat.
Kita juga tentu masih ingat ketika untuk pertama kalinya Jokowi meluncurkan program Kartu Jakarta Sehat (KJS) di DKI Jakarta, ribuan orang berbondong-bondong menyerbu rumah sakit. Orang yang dulunya tidak pernah mau berobat pun akhirnya ikut berobat. Bahkan tak sedikit pula orang yang hanya menderita ringan pun ikut antri di rumah sakit, euforia memanfaatkan program KJS. Akibatnya, banyak rumah sakit yang akhirnya memilih mengundurkan diri dari keikutsertaannya di KJS karena merasa rugi melihat euforia masyarakat Jakarta memanfaatkan KJS.
Program KJS bisa jadi merupakan awal dari pembangunan kesehatan yang mampu menyentuh masyarakat miskin. Kelompok masyarakat miskin yang biasanya tak tersentuh pembangunan, mulai mendapat perhatian yang tinggi ketika Jokowi memimpin Jakarta. Sehingga sangat wajar ketika masyarakat meluapkan kegembiraannnya dengan berbondong-bondong mendatangi rumah sakit untuk memeriksa kesehatannya.
Runtuhnya budaya gotong royong
Era reformasi secara kasat mata mampu meluluhlantakkan seluruh system yang dibangun oleh Orde Baru termasuk budaya gotong-royong. Semangat kebersamaan dan saling tolong menolong mulai memudar dan diganti dengan system individualistis. Saat ini, sulit rasanya menemukan senyum ramah masyarakat yang penuh ketulusan dan keramahan. Yang sering kita lihat justru wajah-wajah “sangar” tanpa belas kasihan. Wajah-wajah penuh dengan kecurigaan, iri dan dengki. Rasa persaudaraan yang dulu begitu kokoh, kini seperti hilang tak berbekas.
[caption caption="Gotong-royong membangun masjid (Sumber desamembangun.or.id"]
Dulu, ketika ada warga masyarakat yang mengalami musibah dan kesusahan maka warga lainnya juga ikut merasakan kesusahannya sehingga antar warga pun bahu membahu, saling tolong menolong meringankan kesusahan tersebut. Tak ada pamrih apapun. Tapi, lihatlah kondisi sekarang. Antar tetangga tak saling kenal, saling acuh tak acuh. Budaya individualisme sangat mendominasi. Maka yang terjadi yang kuat makin kuat, sedangkan yang lemah makin lemah. Jurang pemisah pun makin lebar karena yang kaya makin kaya, sementara yang miskin pun makin jatuh miskin.
Semangat kebersamaan dan gotong-royong “dibunuh” secara perlahan oleh persaingan individu yang menghasilkan pameran kekayaan. Budaya hedonisme dan konsumersime “menghantam” semangat kebersamaan dan gotong-royong tanpa belas kasihan. Kampanye untuk memiliki berbagai produk dan barang “wah” jauh lebih marak dan diminati dibandingkan kampanye gerakan solidaritas nasional. Ciri kebersamaan dan kedamaian yang menghindari persaingan sebagai ciri hidup gotong-royong dan kebersamaan tidak mendapat perhatian. Semangat gotong-royong benar-benar memudar dan hanya tinggal sejarah.
[caption caption="Gotong-royong membangun rumah warga (Sumber infopublik.id)"]
Hingga akhirnya…..lahir program kesehatan partisipasif dan gotong-royong bernama Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada 1 Januari 2014. Program tersebut diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang bertanggungjawab langsung pada presiden. Pembentukan BPJS mengacu pada UU No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dengan tujuan untuk mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan /atau anggota keluarganya.