Kehadiran Didi Kempot terhadap pasang mata millennials pada dewasa ini, bukanlah suatu hal yang baru sebagai alternatif konsumsi musik populer bagi anak muda atas kebosanan industri musik populer di tanah air. Ternyata hal tersebut telah dialami sebelumnya oleh salah satu band ternama di Amerika Serikat pada awal 1990-an, yaitu Nirvana.
Nirvana dan anak muda. Kedua hal yang tak terpisahkan. Bersama genre musiknya yang dikenal dengan sebutan grunge, Nirvana dapat menyihir dan mendobrak industri musik mainstream di Amerika Serikat, bahkan hingga jangkuan global.
Grunge yang dibawakan oleh Nirvana sendiri merupakan jenis musik perpaduan antara musik punk (post-punk) dan metal dengan alunan musik yang melibatkan distorsi-distorsi dalam musiknya.
Distorsi musik yang dimaksud adalah gangguan-gangguan atau kebisingan dari perangkat alat musiknya, terutama pada bagian gitarnya. Menurut musisi dan penikmat musik grunge, distorsi yang dibawakan bukanlah suatu kesalahan dalam hal bermain musik pada umumnya, namun merupakan suatu kreativitas.
Yoyon Sukaryono, sang penulis buku "Grunge Indonesia Still Alive: Catatan Seorang Pecundang", mengemukakan bahwa grunge menawarkan semangat dalam kesederhanaan. Sederhana sebagai produk budaya yang memberikan ruang perlawanan dengan caranya sendiri. Sesederhana pula yang memberikan kekayaan ekspresi (keunikan) atas energi untuk sebuah revolusi musik bagi salah satu penikmatnya, adalah anak muda.
Sama halnya seperti fenomena Didi Kempot di Indonesia, Nirvana hadir sebagai wujud optimisme bagi musik populer anak muda di Amerika Serikat awal 1990-an.
Opsi atas optismisme ini, berangkat dari kebosanan industri musik di Amerika Serikat dalam rentang 1980-an yang terkesan monoton dan kapitalistik. Mayoritas industri musik pada saat itu mengemaskan sebuah genre musik, mulai dari musik pop berdansa, hingga musik glamrock kawakan dengan penampilan nyentrik dan melankolis.
Selain bosan terhadap keadaan industri musik, kehadiran Nirvana bagi anak muda di Amerika Serikat mewakilkan semangat anti kemapanan (Do It Yourself), feminisme, kaum depresi, korban tindakan kekerasan rumah tangga, dan hak-hak kesetaraan atau independensi gender. Semua hal itu menjadi problematika di tengah masyarakat global. Akan tetapi, Nirvana menjadi salah satu representasi atas suara-suara tersebut, dengan penampilan dan karya musiknya.
Tak ayal, Nirvana mampu menjadi produk musik populer bagi kalangan anak muda Amerika Serikat awal 1990-an, atau dikenal dengan sebutan "Generasi X". Generasi ini merupakan generasi alternatif, ketika subkultur anak muda yang masuk ke budaya massa. Generasi yang haus akan revolusi dan gerakan alternatif baru, pasca Perang Dingin. Alhasil, Nirvana merupakan band tersukses secara komersial di Amerika Serikat, terutama bagi penggemar utamanya dari anak muda tersendiri.
Lewat judul album 'Nevermind' (1991), Nirvana mencapai puncak karier tertingginya. Pencapaiannya dimulai dari penjualan CD album hingga 11 juta kopi dalam waktu yang singkat. Selain itu, lagu pamungkas Nirvana yang berjudul 'Smells Like Teen Spirit', mampu menggeser lagu Michael Jackson yang berjudul 'Dangerous' di peringkat tangga lagu teratas US Billboard 200 (Jan, 11, 1992) dan bertahan selama 350 minggu seterusnya!
Musik yang dikemas oleh Nirvana bukan hanya mempopulerkan grunge semata, tetapi juga menandakan kelayakan budaya dan komersial musik populer secara umumnya. Salah satu jurnalis musik terkenal di Amerika Serikat, Michael Azerrad, mengemukakan bahwa album Nevermind melambangkan sebuah perubahan besar dalam musik populer di Amerika Serikat, khususnya genre musik rock, dimana glamrock yang mendominasi pada periode sebelumnya (1980-an), tidak disukai secara otentik maupun kualitas karya musiknya.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!