Bergesernya Nilai Feminisme
Ketika perjuangan RA. Kartini untuk menyamakan drajat kaum perempuan setara dengan laki-laki merupakan sebuah langkah yang hebat. Karena dahulu perempuan dianggap sebagai orang yang tidak pantas mendapatkan pendidikan ataupun melakukan perkerjaan yang laki-laki dapat lakukan. Pada masa penjajahan Belanda hanya kaum laki-laki dari kalangan bangsawan yang boleh memperoleh pendidikan, sementara para kaum perempuan meski dari kalangan bangsawan sekalipun tidak diijinkan mendapatkan pendidikan, perempuan yang menginjak masa remaja harus dipingit.
Semangat untuk memperolah pendidikan inilah yang membuat RA. Kartini memperjuangkan kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Namun, belakangan ini persamaan gender telah melenceng dari ketentuannya. Banyak yang beranggapan bahwa pemisah laki-laki dan perempuan hanya terletak pada jenis kelamin saja. Sedangkan pada semua bidang, seperti profesi wanita dan laki-laki mempunyai hak yang sama untuk bisa melakukannya.
Banyak profesi yang dahulunya didominasi oleh laki-laki sekarang digeluti pula oleh perempuan. Perubahan semacam ini dianggap oleh para perempuan sebuah kemajuan yang hebat. Tanpa mereka sadari perempuan kehilangan ke”perempuannya”, karena apa yang bisa dilakukan oleh laki-laki dapat juga dilakukan oleh perempuan. Hal ini tidak sebaliknya, dalam arti, apa yang dapat dilakukan oleh perempuan tidak semuanya dapat dilakukan oleh laki-laki. Membuat anggapan bahwa para perempuan ternyata lebih tinggi drajatnya daripada laki-laki.
Kondisi seperti ini patut dicermati, dewasa ini banyak para istri yang enggan melakukan pekerjaan sebagai ibu rumah tangga. Padahal tanpa istri bekerja penghasilan sang suami sudah lebih dari cukup untuk kehidupan sehari-hari. Para istri tersebut beralasan bahwa mereka bosan di rumah yang hanya melakukan pekerjaan itu-itu saja.
Yang lebih parah lagi adalah istri yang sudah tidak mau mencucikan baju suami, dengan anggapan merupakan merendahkan drajat perempuan. Feinisme semacam ini mendorong para perempuan untuk dapat mengekploitasi dirinya sendiri tanpa melihat lingkungan sekitarnya.
Contohnya adalah banyak produk yang diperuntukan kepada perempuan. Dengan bintang iklan perempuan dan sasaran yang dituju adalah perempuan. Seperti iklan deodoran, pembersih wajah, sabun dan lain sebagainya. Seakan-akan perempuan ingin menunjukan eksistensinya tidak kalah dengan laki-laki.
Ketika perempuan (istri-red) sudah bisa memiliki penghasilan yang lebih besar dibadningkan laki-laki (suami-red), membuat keadaan semakin parah. Mendorong sikap yang semena-mena kepada laki-laki. batasan-batasan norma sosial yang ada menjadi hilang. Seperti pada orang Jawa, dimana istri mengabdikan dirinya kepada suami.
Pemahaman yang salah tentang feminisme akan menjadi bumerang bagi kaum perempuan itu sendiri. Suatu gerakan yang sejatinya untuk mningkatkan drajat kaum perempuan, namun dirusak sendiri oleh perempuan. Dengan melakukan hal-hal yang diluar kewajaran dan norma-norma yang berlaku di lingkungannya. Bukan berarti persamaan drajat menjadikan perempuan dapat seenaknya melakukan apapun. Perilaku seperti itu akan menimbulkan kekerasan pada perempuan meningkat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H