Rimba bernyanyi balada
memainkan merdu nada-nada
bermelodi sendu.
Suaranya memenuhi negeri. Sopran.
Namun aneh, orang-orang hanya mendengarnya bersenandung sangat lirih.
Dan tidak peduli, terus mengurangi pepohonan hingga orkestra harmoni berubah ironi.
Rimba terus berdendang balada. Suaranya bergema hingga kutub utara. Tenor.
Tapi absurd, orang-orang kali ini menutup telinga (pura-pura) tuli. Serakah lebih hakiki. Dan tidak acuh , terus menggerogoti tanpa ganti rugi menanam kembali.
Rimba bernyanyi, kali ini balada penuh. Ia jenuh. Percuma. Tak kuasa ia menghalau longsor, akar bongsornya punah. Tak mampu menahan banjir, pepohonan kehilangan jir menjaga lestari tanah dan air.
Lalu orang-orang berlagak simpati. Parahnya mereka saling menikam belati. Tetap membiarkan rimba bernyanyi sendiri. Alto dan bass. Balada menusuk dada.
MkS, 170921
-Aminy Harros-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H