Mohon tunggu...
Aloysius Yuwono Suprapta
Aloysius Yuwono Suprapta Mohon Tunggu... -

Berbagi, membuka hati, menyebarkan pikiran\r\n

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Rawagede, Riwayatmu Kini

24 September 2011   17:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:39 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

as writen in http://suka-senang.blogspot.com

Interesting! Kasus ini terlalu menarik untuk sekedar dilewatkan. Setelah aku membaca ulasan para masyarakat Rawagede (khususnya para janda korban perang) untuk mengajukan tuntutan kepada Pemerintah Belanda dalam kasus pembantaian masyarakat Rawagede (DI JAMAN PERANG) beberapa hal meloncat-loncat dalam pikiranku. Tentang bagaimana kasus yang sudah lama seperti ini bisa kembali muncul, dendam yang lama sekali tidak dapat terkuburkan oleh waktu, dan juga masih ada orang Indonesia maupun beberapa penduduk Belanda yang begitu getolnya membela kebenaran (yang saat ini berusaha ditunjukkan bagi masyarakat Indonesia). Bukankah sejarah tidak dapat diulang kembali, dah hanya dapat dicecap sarinya sebagai pembelajaran hidup? Setidaknya dalam kasus ini sejarah juga berarti kaca yang harus dibersihkan untuk dapat melihat masa depan yang lebih cerah.

Kasus Rawagede ini seperti sebuah kisah yang menunjukkan perjuangan mencari kebenaran yang sudah lama terpendam. Setidaknya, sudah hampir 64 tahun kasus ini terjadi, kejelasannya baru tampak sekarang. Pertanyaanku sejak awal, mengapa perlu begitu lama waktu untuk menjernihkan kasus ini? Bagaimana juga keluarga Rawagede ini dapat tetap mempertahankan pikirannya untuk menuntut Belanda (itu berarti dendam, kan) selama ini? Jawaban untuk pertanyaan pertama tampaknya sudah dapat ditebak. Seperti sebuah kisah lama, setiap kasus yang bergulir di Indonesia akan ikut mengaret (mamanjang) sama seperti kebiasaan jam karet yang menjadi budaya bangsa ini. Syukur-syukur kebiasaan itu semakin pudar seiring waktu.... Pertanyaan kedua barangkali bersumber dari ketidakrelaan keluarga korban untuk mengiklaskan kejadian yang tragis itu. Siapa yang rela keluarga tercintanya "hilang" dengan cara yang tidak layak? Tanpa suami, tanpa anak, tanpa orang yang dicintai, bagaimana kehidupan setelah kejadian itu dapat berjalan dengan manis? Tentunya akan menyisakan luka batin yang mendalam.   Seiring waktu yang begitu panjang, luka itu tidak pula luntur, justru tampaknya menimbulkan luka parut bagi mereka yang menjadi saksi hidup peristiwa itu. Luka yang berbekas dan tak mau hilang itu  membuat mereka bertahan menuntut keadilan. Mengapa begitu lama membawa derita ini di dalam hati? Bukankah akhirnya dengan membawa beban masa lalu ini justru tidak dapat menjalani hidup berikutnya dengan bebas? Seandainya pun keluarga dapat kembali berbicara kepada korban tragedi ini, apakah roh-roh para korban rela melihat keluarganya menderita di dunia hanya untuk memikul kepedihan hati masa lalu? Apakah mungkin roh yang sudah 64 tahun kembali ke alam penciptanya masih terus menuntut keadilan dan memaksakan keluarga yang hidup untuk memperjuangkannya? Aku tidak tahu. Begitu banyak kemungkinannya. Sesuatu yang hidup dalam dunia roh memiliki urusannya sendiri, dan mereka yang hidup di dunia memiliki kehidupan yang harus dijalaninya. Jadi, aku begitu yakin bahwa tuntutan selama ini bukan untuk memberikan ketenangan bagi roh-roh korban tragedi itu. Lebih seperti perjuangan atas kasus Rawagede ini untuk memberikan ketenangan bagi perasaan para keluarga yang ditinggalkan. Ketenangan dalam hati karena sudah sangat lama terbelenggu dendam dan kehausan akan keadilan. Ini seperti memilih antara kedua sisi tangan, apakah akan memilih melupakan kejadian itu dan berusaha memulai hidup yang baru (yang mungkin saja masih ada bekas akan kejadian itu), atau terus memperjuangkan kasus yang mungkin saja membuat perjalanan hidup saat ini terbebani. Aku teringat suatu kali terdengar suara aneh di ban belakang motorku saat perjalanan dari Nusa Dua menuju rumah. Yah, sudah 6 bulan ini belum sempat kuperiksakan motor Honda wing tuaku ini. Sepanjang perjalanan, masih saja aku memikirkan kondisi ban belakangku. Apakah ada masalah dengan "pelor" rodanya? Atau hanya sekedar rantainya? Atau rojinya? Pikiranku terfokus pada ban belakang dan melihat kanan-kiri mencari bengkel. Perjalanan dari Nusa Dua yang seharusnya menyenangkan (daerah Nusa Dua punya pemandangan yang menakjubkan!) malah tidak berkesan apapun. Pikiranku terbelenggu kekhawatiranku terhadap keadaan ban ku. Apakah mungkin pikiran para keluarga yang ditinggalkan oleh korban Rawagede juga seperti aku saat memikirkan ban belakangku? Sulit sekali menikmati keindahan perjalanan saat ini? Yah, setiap orang memiliki pilihan dalam menjalani hidupnya, bukan? Sekarang, kasus mulai tuntas dan pemerintah Belanda setuju untuk memberikan pertanggung jawaban. Salah satu bentuk pertanggung jawabannya adalah penyediaan dana bagi para korban. Dana itu tidak akan dapat merubah sejarah, tetapi adanya kasus ini justru membentuk sejarah baru bagi bangsa Indonesia dan hubungannya dengan pemerintah Belanda. Indonesia tentu semakin belajar mengenai keadilan saat ini. Maksudnya, bahkan setelah 64 tahun kasus terpendam dan hampir usang dimakan rayap-rayap jaman, ternyata kasus semacam ini dapat dimunculkan juga ke meja hijau. Dan berhasil pula! Bukannya tidak mungkin suatu hari akan bermunculan kasus-kasus yang membutuhkan keadilan lagi karena belum tuntas saat ini. Bukankah di negeri ini banyak kasus korupsi yang belum tuntas? Belum lagi masalah HAM dan pencemaran nama baik? Lihat saja kasus Antasari yang berlarut larut, dan sekarang kasus Nasarudin yang tampaknya akan memakan BAB panjang dalam buku sejarah. Begitu juga kasus hibah Negeri Belanda kepada masyarakat Rawagede yang ternyata hilang di negeri antah berantah karena disalurkan melalui pemerintahan daerah. Nah loh??? Dana pajak saja bisa hilang di negeri ini, apa lagi dana hibah. Jadi, bagi para pelaku yang merasa "aman" tidak tersentuh hukum saat ini, semoga dengan adanya peristiwa Rawagede ini sedikit membukakan pikiran bahwa kejahatannya masih bisa diobok-obok dikemudian hari. Tidak ada ruang dan waktu yang benar-benar aman bagi kebusukan Anda, bung! Semoga keluarga besar Rawagede mendapatkan ketenangan di hati dan dapat menggunakan kompensasi dari Kerajaan Belanda dengan bijak. Hiduplah dalam kesadaran saat ini yN Sumber gambar : http://media.vivanews.com/thumbs2/2011/08/12/119764_cawi-salah-seorang-janda-pembantaian-rawagede_300_225.jpg Link terkait : 1. http://www.majalah-historia.com/berita-497-jalan-panjang-memenangkan-gugatan.html 2. http://id.berita.yahoo.com/pemerintah-ri-ditengarai-simpan-dana-hibah-kasus-rawagede-122952514.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun