Mohon tunggu...
Riza Nur Ubaidillah
Riza Nur Ubaidillah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mari belajar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menerawang Paradigma Kebijakan Pendidikan Nasional

22 September 2011   01:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:44 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Baru-baru ini masyarakat kembali dibuat terperangah menyaksikan peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh pelajar, yaitu pengroyokan terhadap beberapa wartawan, kurang lebih seperti itulah berita yang kita dapat baik dari media cetak maupun eletronik. Kasus kekerasan yang dilakukan oleh pelajar memang bukan kali pertama ini terjadi, sudah berkali-kali kita menjumpai kasus-kasus kekerasan oleh pelajar seperti tawuran, mulai dari siswa smp, sma, hingga mahasiswa, dan hampir dari semua kasus-kasus tersebut dipicu oleh masalah-masalah sepele. Ironisnya peristiwa-peristiwa memalukan tersebut seolah sudah menjadi trend di kalangan pelajar dan dapat di maklumi.Mungkin dengan berpikir sehat kita dapat memaklumi jika peristiwa tersebut hanya terjadi sesekali, namun ini berkali-kali. Kekerasan yang dilakukan oleh pelajar patut mendapat perhatian serius oleh semua pihak, khususnya oleh pemerintah dalam hal ini kemendiknas. Karena sebagaimana kita tahu ditangan para pelajar inilah masa depan bangsa ini dipertaruhkan, kita tidak mampu membanyangkan jika bangsa ini dikelola oleh orang-orang yang berpikir pendek, vandal dan brutal.

Berbagai peristiwa yang menggambarkan degredasi etika pelajar ini tentu mengundang pertanyaan besar, apa sebenarnya yang sedang terjadi dengan dunia pendidikan kita? Berbagai perombakan dalam beberapa aspek pendidikan nasional berulang kali kita dengar, mulai dari perubahan kurikulum hingga belakangan kita mendengar pemerintah menggalakkan pendidikan karakter, semua itu seolah hanya tambal sulam belaka, dan tidak mampu menjangkau inti penyakit yang ada.

Keadaan tersebut, yaitu ketidak jelasan arah pendidikkan nasional menunjukkan bahwa pendidikan mulai kehilangan orientasi dalam praktiknya, pendidikan tidak lagi menjadi alat untuk memberdayakan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk social.Idealisme luhur yang ada dalam pendidikan lambat laun mulai tergantikan oleh pragmatisme semu akibat perkembangan zaman yang semakin cepat yang cendrung bersifat kapitalistik.Inilah yang sedang terjadi dalam tubuh pendidikan nasional. Corak pendidikan seperti ini akan membawa kehancuran yang pasti, out-come dari pendidikan yang berparadigma pragmatis ini sangat mungkin minim dalam kesadaran berbangsa dan bernegara yang baik, oleh karena pendidikan lebih cenderung kepada pelatihan-pelatihan yang hanya menjawab kebutuhan dunia yang kapitalistik dari pada memupuk dengan wawasan-wasasan etika.Maka sangat wajarlah bila pola pendidikan seperti ini melahirkan individu-individu yang brutal bahkan sejak dalam berpikir. Sekolah lebih menekankan aspek legal formalnya saja, tugasnya seolah sebatas memberikan jasa pelayanan untuk memberi pelatihan-pelatihan. Seperti kasus pengroyokan oleh siswa dari salah satu sma di Jakarta yang belakangan kita dengar, sekolah menyatakan tidak bertanggung jawab atas apa yang terjadi di luar pagar sekolah, dalam pemahaman legal-formal fungsi sekolah pernyataan tersebut memangbisa dibenarkan, namun dalam kacamata pendidikan secara utuh pernyataan tersebut tidak bisa dibenarkan. Ini menunjukkan bahwa idealisme luhur dari pendidikan mulai tercerabut dari lebaga-lembaga pendidikan seperti sekolah. Sekolah tidak ubahnya seperti pabrik.

Kita sepatutnya mengakui dengan jujur bahwa kualitas pelajar kian hari kian menurun, dan mengalami krisis idealisme, hal tersebut akan bertambah menjadi ironi ketika kita kaitkan dalam hal moralitas. Bangsa yang tadinya dikenal dengan kesantunan dan kelemah lembutannya berevolusi menjadi bangsa yang beringas, vandal dan brutal yang tercermin dari para pelajarnya.Terdegredasinya kualitas pelajar kita baik secara intelektual dan spiritual disebabkan kebijakan-kebijkan yang semata-mata lahir dari improvisasi sembrono atas fonemena globalisasi, yang menuntut manusia menjadi makhluk yang siap pakai sebagai motor penggerak sistem raksasa ini, membuat manusia berpikir bahwa hidup untuk bekerja, sekolah untuk bekerja, dan pendidikan untuk bekerja.

Hidup untuk bekerja menjadi pandangan hidup yang di doktrinkan kepada para pelajar, bukan bekerja untuk hidup, supaya mampu mengisi hidup namun sebaliknya hidup untuk bekerja sekedar untuk menyambung hidup. Pemahaman seperti ini tidak akan mamapu mencerdaskan kehidupan bangsa, pemahaman seperti ini akan membunuh kreatifitas potensi dan bakat seorang manusia. Dan pemahaman inilah yang diusung oleh sistem globalisasi dalam kuasa kedigdayaan kapitalisme. Masyarakat secara masal terindoktrinasi oleh pemahaman sesat, dimana manusia tidak akan survive tanpa sistem ini, walaupun pada kenyataannya sistem ini tidak akan mampu survive tanpa manusia, karena sistem ini mengandalkan kepolosan manusia dalam memahami kenyataan yang sebenarnya terjadi, kepolosan dalam arti tidak mampu memandang secara kritis dinamika kehidupan yang ada. Dan inilah yang terjadi di sekolah-sekolah.

Kita sudah mengetahui bahwa kebijkan pendidikan yang lahir dari paradigma pragmatisme akibat corak kehidupan global yang kapitalistik ini menyumbang besar pada terdegredasinya kualitas pelajar, khususnya mengenai kualitas karakter mental pelajar. Kebijakan (policy) mengenai pendidikan nasional akan menjadi suatu kebijaksanaan (wisdom) apabila kebijakan itu lahir dari dalam diri kepribadian bangsa dimana pendidikan itu diselenggarakan, bangsa ini tentunya masih memilki falsafah hidup yang identik dengan karakter jati diri bangsa yang membentuk ideologi berbangsa dan bernegara, yaitu pancasila. Ideologi inilah yang seharusnya menjadi foundation dari setiap kebijakan pendidikan yang ada, bukan kebijakan yang lahir semata-mata karena trend yang sedang marak. Dengan kembali pada falsafah ini kita sama-sama berharap, tidak silau dengan perkembangan zaman yang merabunkan pandangan, menjadi sukar membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, dan mampu mengobati krisis yang menjadi borok pada penyelenggaraan pendidikan nasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun