Mohon tunggu...
Riza Nur Ubaidillah
Riza Nur Ubaidillah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mari belajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengatasi Perbedaan

14 Mei 2011   04:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:43 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Umat islam di dunia khusunya di Bangsa ini belum beranjak dari masalah "aku pengikut sekte "a" sekaligus ormasnya" di lain pihak "aku pengikut sekte b sekaligus ormasnya".masing-masing ada yang merasa paling benar, ada juga yang merasa paling baik karena tidak merasa paling benar tapi tetap membumikan semangat saling menghujat walau dengan bahasa sarkastik.

Motto umat yang satu seolah telah hilang dari kamus "ke-tauhidan". Ini adalah salah satu sebab kemundurun umat islam, sebuah ironi yang justru selalu dihidupkan oleh para pengikut sekte. Bagaimanapun perbedaan adalah satu keniscayaan, apa indahnya pelangi jika hanya ada satu warna, apa indahnya bumi jika hanya terdiri dari tanah yang kering. Sikap berbesar hati untuk saling memahami dan menghargai seolah terlalu berat untuk diwujudkan, entah karena kembali ke masalah fanatisme sekterianisme yang buta, atau hanya sekedar imbas dari sikap Taklid yang terkesan tidak taklid.

Telah terjadi ledakan gerakan-gerakan yang membumikan semangat "paling benar" dan "paling baik"—bagaimanapun keduanya berbeda—. Sejatinya semua itu tidak akan menyelesaikan permasalahan yang ada namun justru menimbulkan masalah-masalah baru, dan sejatinya ada sesuatu yang salah dari gejala seperti ini. contoh kecil saja, epistemologi ideologis sekte atau ormas radikal, pemahaman mereka berangkat dari isu "al quds" sengketa di yerusalem atas invasi israel yang didukung sekutu seperti Amerika dan kawan-kawannya, beranggapan bahwa dibalik kejahatan tersebut didalangi oleh yahudi, lantas menghujat kaum yahudi seolah bukan kesalahan, seolah tidak mengerti atau memahami bahwa Musa AS (moses) atau Isa AS (Jesus Crist) juga tergolong Bani Israil atau bangsa yahudi. Perlu diketahui bahwa yahudi pun sama seperti agama monoteis lainnya seperti nasrani dan islam, terdapat beberapa sekte yang saling bertentangan. Dan memang kegiatan pendudukan israel pun ditentang oleh sebagian sekte dari yahudi itu sendiri, kaum yahudi yang satu ini beranggapan bahwa elit yang bertanggung jawab atas berdirinya negara israel dan pembantain-pembantaian yang terjadi di dalangi oleh sekte yahudi yang sudah tercemar oleh kabalah pada Talmud. Ada pula yang mengkambing hitamkan Amerika sebagai co-creator kekacauan didunia, padahal Amerika terdapat banyak etnis dengan latar belakang ideologis yang berbeda-beda. Segala kekacauan didunia bukanlah antar sekte dalam agama, bukanlah antar agama, bukanlah antar bangsa.Namun antara kebenaran dan kebodohan.

Yang jelas kebenaran bukanlah terletak pada, sunni, syi’ah, murji’ah, khawarij, wahabi atau NU, Muhammadiyah, HTI, FPI, NII, atau apapun sebutan lainnya, namun terletak bagaimana upaya saling memahami dan menghargai satu sama lain. Sungguh Allah telah menjamin bahwa kitab suci Al qur’an tidak akan tercemar oleh apapun, namun infiltrasi yang merusak islam justru muncul dari umat islam itu sendiri, memberi label sekte-sekte, ormas-ormas, saling menatap dengan curiga, antipati jika tidak sepaham, Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan “musuh yang pintar lebih baik dari pengikut yang bodoh”. Usaha untuk membersihkan bias di dalam hati untuk kemudian memahami dan mempelajari secara sungguh-sungguh setiap sekte-sekte adalah jauh lebih baik dari pada saling menjaga jarak dan membumikan semangat apatisme dari setiap sekte, apalagi saling hina dan maki-memaki yang cenderung kekanak-kanakan.

Islam dalam tata bahasa arab adalah “haal” (kondisi rohani), dalam tata bahasa inggris “kata keterangan”, islam bukanlah kata benda, ini menerangkan cara hidup atau keadaan hati, ini tentang apa yang kita lakukan, dan apa yang kita percaya dalam hati. Bukan apa yang dilabelkan pada kita, dari luar.

Manusia adalah makhluk dengan kapabilitas yang terbatas, dan kapabilitas mental yang terbatas, namun kita hidup dalam pengetahuan alam semesta yang tak terbatas, dari kebenaran yang tidak terhingga. Manusia menggunakan kapabilitas tersebut untuk menemukan untuk memahami.Namun karena kapabilitas kita yang terbatas, kita harus memahami, bahwa kesimpulan kita tentang apapun semata-mata hanyalah persepsi dari sebuah “perjalanan”. Tidak satupun dari kita memiliki kebenaran yang sempurna melainkan, masing-masing dari kita memiliki persepsi dari kebenaran. Dan karena Sang Maha Pencipta adalah pengetahuan, keberadaan dan kebijaksanaan yang tidak terhingga, kita tidak dapat memahaminya secara penuh, bahkan jika saling berkelahi mengenai sudut pandang siapa yang paling benar.

Kita analogikan lautan sebagai contoh, jika lautan mewakili kebenaran mutlak, manusia hanya memiliki satu cangkir untuk mengisi air dari lautan tersebut, itulah kapasitas kita. Artinya, seberapapun banyaknya manusia mengisi cangkirnya, itu tetaplah contoh terbatas dari lautan. Dan apa yang terjadi di tengah-tengah kita adalah orang-orang diseluruh dunia berkelahi mengenai cangkir siapa yang terbaik. Setiap cangkir adlah sudut pandang yang benar dari “lautan” dan kenyataannya, tak satupun dari kita yang memiliki lautan yang sempurna dalam cangkir kita. Inilah kondisi kita dalam hubungan kepada kebenaran, Tuhan dan agama. Tidak seorangpun memiliki hak untuk menghakimi orang lain, ini hanyalah masalah persepsi belaka. Beberapa mungkin lebih akurat dari pada yang lainnya, dan ada juga beberapa yang menambahkan racun kedalam cangkir mereka. Namun tetap tidak ada yang memegang kebenaran mutlak.

Sangat penting bagi kita untuk membangun “perjalanan kita” sendiri, kita sendiri yang mengisi cangkir kita dan bertanggung jawab atas itu. Dan tetap memahami dan menerima kenyataan, bahwa orang lain memliki cangkir yang berbeda, yang semuanya berasal dari lautan yang sama. Penghakiman adalah kuasa Tuhan.

Selain lautan, kita bisa belajar dai pelangi, sebagaimana kita tahu pelangi adalah fenomena optical, dihasilkan oleh cahaya yang dipantulkan oleh tetesan air di udara, tapi pelangi hanya terlihat dari sudut pandang yang spesifik, itu seperti fenomena ilusi air di gurun, dan itulah kenapa pelangi akan menghilang jika kita mencoba menghampirinya. Artinya, tidak ada pelangi yang berbentuk fisik yang berwujud diluar pengamatnya, pelangi seperti sebuah keindahan yang hanya ada di dalam penglihatan para saksinya, jika ada 2 orang menyaksikannya dari 2 sudut yang berbeda, mereka berdua dapat melihat pelangi, tapi bukanlah pelangi yang sama. Bayangkan saja, jika ada seseorang yang merasa, bahwa dia melihat pelangi yang asli, dan bahwa pelangi yang dilihat orang lain adalah palsu, dia berusaha meyakinkan orang lain bahwa diua benar dan jika mereka tiak mempercayainya, dia akan membunuh mereka. Ini menentang hukum alam.

Sebagai manusia kita telah diciptakan dengan mentalitas yang berbeda, memungkinkan kita untuk membangun pendapat, tujuan dan pemahaman yang berbeda, ada hikmah untuk intelektualitas yang berbeda-beda itu. Lalu kenapa kebanyakan dari kita bertekad untuk mendirikan satu jenis atau satu cara berpikir?kenapa kita terus menerus anti, menjaga jarak, membenci, bahkan memerangi mereka yang tidak sepaham dengan kita?

Dunia kita membutuhkan lebih banyak lagi cinta, pengertian keyakinan, belas kasihan, antusiasme, harapan, romansa. Jika kita memperlakukan satu sama lain dengan kekuatan penggerak itu, dan belajar untuk memperbaiki diri kita sendiri, maka kita dapat menjadi contoh positif dari agama atau keyakinan-keyakinan kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun