Mungkin masih ingat di dalam memori kita ketika masih anak-anak. Ketika kita bertanya tentang sesuatu, orangtua menjawab dengan seadanya sesuai dengan apa yang ia tahu atau sesuai dengan kadar kemampuan kita untuk menangkapnya. Namun, ketika kitabanyak bertanya--terlebih yang membingungkan orangtua—kita justru kena marah atau bahkan disuruh untuk diam seribu bahasa. “Pamali…masih kecil sudah banyak bertanya !!”. Begitu mungkin jawaban yang dlontarkan oleh orangtua kita, ketika lontaran pertanyaan kita ajukan. Atau ketika orangtua kita tidak mampu untuk menjawabnya.
Orangtua kita mungkin memandang bahwa “tradisi” banyak bertanya terlebih pertanyaan yang tidak sewajarnya anak kecil menanyakannya, bukan waktunya dilakukan. Terlalu premature untuk dibedah. Hal-hal ringan atau pertanyaan remeh temehlah yang sepantasnya keluar dari mulut manusia yang masih kecil. Bukan waktunya untuk berpikir yang ”tidak-tidak”.
Perlakuan seperti itu mungkin pernah kita rasakan. Bagaimana orangtua kita melakukan “pembonsaian” pikiran atas dasar pertimbangan usia. Atas nama “pamali” rasa ingin tahu kita dibelenggu, dibatasi dan diawasi. Namun, pernahkah kita berpikir bagaimana influence terhadap perkembangan pola pikir kita. Terhadap kepekaan kita akan lingkungan. Atau apa saja yang semestinya kita tahu apabila bertanya. Dan tahukah Anda, bahwa metode yang dilakukan oleh orang Yahudi dalam meningkatkan pemahaman dan kecerdasaannya adalah melalui metode banyak bertanya ?
Yupz, semua orang yang berada di planet bumi ini pasti memiliki hasrat dasar untuk ingin tahu dan ingin memahami sesuatu, baik ketika masih kecil terlebih ketika dewasa, baik sesuatu yang ada dilingkungan sekitarnya maupun sesuatu hal yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Hasrat ingin bertanya adalah sebuah anugerah, sebuah potensi yang apabila kita kembangkan dan pahami bisa jadi menghasilkan sebuah prestasi.
Hasrat ingin bertanya atau ingin tahu sejatinya adalah sebuah proses berpikir. Proses berpikir yang pada tahap selanjutnya akan terus membuka keingintahuan kita akan segala hal yang kita pikirkan. Proses berpikir yang akan menstimulus otak kita untk bertindak proaktif. Dan keingintahuan kita itulah yang pada akhirnya membawa kita kepada “ketajaman dan kepekaan dalam berpikir”.
Banyak studi yang membuktikan bahwa banyak berpikir atau menggunakan pikiran akan mengembangkan kecerdasan seseorang. Berpikir bisa dianalogikan semacam siklus penguatan diri. Semakin sering kita berpikir maka pikiran dan otak kita akan semakin berkembang. Dan sebaliknya ketika kita tidak berpikir, maka otak kita tidak mustahil dapat berhenti pertumbuhannya. Dan kebodohanlah yang siap menunggunya dan akan menjadi teman setia, teman sehidup semati, sampai ajal menjemput nanti. Dengan tidak berpikir, tidak mustahil kita akan mudah ditipu, pikiran kita “di goyang-goyang”, manusia keong, laksana komputer yang sudah terjangkit virus akut atau bahkan mudah percaya akan segala hal, yang pada akhirnya kita menganggap sesuatu hal itu sebagai hal biasa. Menjadi hal biasa yang sejatinya membuat otak kita mati terbunuh oleh diri kita sendiri. Otak atau akal yang seharusnya bisa melakukan hal-hal yang mustahil dengan cara-cara yang mungkin, bisa jadi mati tak berdaya.
Dalam bukunya, Eran Katz menyatakan ternyata orang Yahudi dalam mengembangkan kecerdasannya adalah dengan cara menjawab sebuah pertanyaan dengan jawaban pertanyaan. Lebih jelasnya seperti ini. Asumsi dasar dalam agama Yahudi adalah tidak ada sesuatu pun yang dianggap memang sudah semestinya. Bahkan, firman yang paling “keras” dan dasar (setiap kepercayaan Yahudi harus diikuti secara tepat dan seksama) tidak harus langsung diteriman atau bahkan tidak dipatuhi sama sekali sampai ada penjelasan datang untuknya.
Bangsa Yahudi malakukan hal seperti itu karena mereka ingin mengetahui alasan atau logika apa yang ada dibalik semua firman. Bahkan mereka tidak segan-segan untuk mendebatnya dan memformat serta menginterpretasi ulang. Bukan bermaksud untuk mengajak para pembaca menjadi manusia “liberal”. Akan tetapi, mari kita kaji dan ambil nilai edukasinya sehingga kita bisa belajar banyak darinya. Berpikir terbuka, berwawasan luas dan sekaligus belajar adalah beberapa hal yang ingin dicapai dari melontarkan sebuah pertanyaan. Masihkah kita malu untuk bertanya…??? Bersambung….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H