Pendeknya, ada paradoks dalam kesejarahan didirikannya PMII dengan perjalanan dikemudian hari. Maksud paradok dalam makna disini ialah, Pertama,tujuan awal didirikan PMII sebagai konsolidator diranah politik. Kedua,berangkat dari perjalanan sejarah, nilai filosofi didirikannya PMII pun tak luput dari pergeseran. Transisi inilah termanifestasikan dalam ruang praksis pembebasan[5] diranah intelektual, civil society,dan agama. Istilah transisi paradigmatik yang terjadi dalam perjuangan PMII disini menjadi porsi perjuangan, dalam konteks ini, tentunya ini sesuai dengan relevansi ruang dan waktu. Paradok “tujuan awal” dan “kondisi akhir” ini, hemat penulis, tidak tercerabut dari subtansi didirikannya PMII. Malahan ini adalah langkah kritis-analitis membaca sejarah, faktor pembacaan kesejarahan dengan konstelasi nasional dan memiliki relasi dengan kebutuhan (needs acesment)
Kedua pemaknaan penulis diatas adalah bagian terkecil dan upaya coba-coba mengakomodasi makna yang kabur dari orbit kesejarahan, namun tidak menutup kemungkinan kehadirannya dapat dipersoalkan bahkan digugat akurasinya. Memang terkesan apologis, akan tetapi dari sinilah dimulai belajar memahami secara secara konprehensip dan tidak parsial. Maka sebenarnya tidak ada argumentasi rasional manakala kondisi PMII saat ini merupakan representasi ending kesejarahan organisasi wong alit ini.
Karena dulu dengan sekarang jelas berbeda, maqo’idu al sar’i-nya jelas berbeda. Namun kondisi sekarang tak luput dari peran masa lalu, keberbedaan atau peralihan inilah, boleh dikata, upaya kritik terhadap titik sejarah yang relevan. Maka kita butuh mengkaji ulang kembali. Disinilah terjadi proses klasivikasi, pemilahan mana yang patut digunakan dan mana yang tak lagi berguna. Dalam konteks perkembangan, relasi sosiologis ikut menyumbang dalam pembangunan sikap sejarah. Malahan latar historie inilah yang menjadi faktor deterministik, karena pengaruh kesejarahan tak dapat dipisahkan. Kalapun lepas dari faktor kesejarahan, biasanya akan tercerabut dari makna subtansial dan tradisi.
Minimal ini hasil analisis melalui tahap renungan tiap malam, dari warung kewarung kopi, dan forum diskusi cultural dengan sahabat selama ini. Kurang lebihnya senantiasa mewujudkan harapan kritikan dan masukan dari pembaca, hal senada juga merupakan upaya kita dalam menyikapi pergulatan kesadaran dalam ruang organisasi.
PMII Sebagai Aktor Teater Tranformasi
Sementara itu kepanjangan PMII kerap kali dimaknai sebagai upaya dialog nilai perjuangan dengan pijakan kearifan local (localwisdom), kendati senantiasa dalam gerakan mahasiswa ada kesan paradoks manakala dihadapkan pada realitas. Namun PMII dalam konteks ini berhasil mengasosiasikan nilai gerakan dengan nilai local yang pada gilirannya menjadi sebuah perpaduan yang agak progresif. Cermat melihat tradisi (tsurat’)sebagai pijakan menghadirkan kenyataan modernitas (tajdid),kalau demikian, maka PMII tidak akan tercerabut dari akan tradisi meskipun diatas langit modernisasi, global.
Diakui ataupun tidak, kesadaran gerakan, dan apapun nama gerakan itu, mayoritas menggunakan paradigma konflik atau pertentangan kelas yang memiliki mata rantai dengan gagasan besar Marxisme. Kekuatan mahasiswa (pressure group) secara vis a vis berhadapan dengan negara (the state), akhibatnya mahasiswa kerap kali tak pernah bertemu dengan pemerintah dalam rangka tranformasi gagasan, padahal mempengaruhi penguasaan, dengan melakukan tranformasi dan konsolidasi, berdampak pada kebijakan karena ini adalah area sentral kebijakan. Kalaupun masih menggunakan metode klasik dalam gerakan, dengan pendekatan binary oposisition,dengan turun jalan atau demontrasi. Model gerakan demikian senantiasa melahirkan apresiasi negatif dimasyarakat terutama ketika melihat tipikal perjuangannya.
Berbeda dengan PMII, bermula dari sebuah ijtihad’ gerakan organisasi ini mampu mengkulturisasi nilai gerakan tradisi barat dengan nilai local (localwisdom). Relevansi paradigma binary oposisitionsama dengan proses menentukan ideologi bangsa. Memang kontraproduksi dengan gagasan para foundhing father mengenai karakter Indonesia, yang mayoritas menghadirkan wajah Islam persis sesuai dengan apa dan ada di negara asalnya, yakni arab. Karena dari padanya, ketika dihadapkan pada multicultural, multi-ras dan pluralitas masyarakat Indonesia, menjadikan Indonesia sebagai negara islam sama dengan meniscayakan hidup diskriminasi dan merupakan satu hal yang salah kaprah. Akibatnya nilai kebangsaan (nasionalism) yang secara politis tertuang dalam bingkai Indonesia mengalami disintregasi, karena disana hanya ada satu ras, agama, bahasa, dan budaya. Paradoksal kedua gagasan antara kaum nasionalism dan Islam inilah yang menjembatani -kembali lagi secara etimologis kebahasan penamaan PMII-nilai gerakan dengan program strategis melalui tranformasi yang berdasarkan spirit Islam ala Indonesia.[6]
Membaca posisi PMII saat ini tidak cukup dengan intrument dalam skup nasional, namun berbagi dengan konstelasi politik internasional juga memberi kontribusi besar dalam menetukan strategi gerakan. Pembacaan demikian memang jarang sekali dilakukan oleh mayoritas pekerja sosial, namun ini menjadi sebuah kenyataan –politik internasional-yang harus dihadirkan dalam menerjemahkan posisi PMII.[7] Yang memiliki andil besar dalam membentuk PMII dalam kontek pembahasan ini ada tiga, baik ditingkat nasional maupun internasional –global.
Pertama, kekuatan ekonomi yang bermuara pada kapitalisme global. Penulis mengajak pembaca ber-romantisasi dengan sejarah. Masuknya penjajah asing di Indonesia pada tahun 1596 merupakan babak awal tertanamnnya pengaruh barat di bumi pertiwi. Berdirinya VOC pada tahun 1602 merupakan tonggak monumental jatuhnya nusantara pada belanda baik ekonomi maupun politis. Era inilah yang kerap kali disebut sebagai awal mula kehadiran system imprealis-kapitalistik, penguasaan disektor ekonomi dan politik oleh penjajah belanda merupakan tamparan keras bangsa Indonesia. Model penguasaan kaum kapitalis pada saat itu represif bahkan genosid.